SEJARAH LAHIRNYA HAK
ASASI MANUSIAN
Ham menurut UU No.39 tahun 1999
adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dari keberadaan manusia
sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrahnya yang wajib
dihormati,dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara,hukum dan pemerintah dan
setiap orang demi kehormatan serta perlindungan.
1. Hak
Asasi Manusia Di Yunani
Filosof yunani seperti Socrates (470-399 sm) dan Plato (428-348SM)
meletakan dasar bagi perlindungan dan jaminan diakuinya hak-hak
manusia.Konsepsinya menganjurkan masyarakat untuk melakukan sosial kontrol kepada
penguasa yang lazim dan tidak mengakui nilai-nilai keadilan dan kebenaran.Aris
toteles (348-322SM) mengajarkan pemerintah harus mendasarkan kekuasaannya pada
kemauan dan kehendak warga negarannya.
2. Hak
asasi Manusia di Inggris
Inggris disebut juga negara pertama di dunia yang memperjuangkan
HAM,terbukti dengan ditemukannya dokumen kenegaraan yang berhasil disusun dan
disahkan.Dokumen-dokumen tersebut sbb:
Ø MAGNA CHARTA
Pada awal abad ke XII raja Richard yang dikenal adil telah
diganti dengan Raja John Lackland yang bertindak sewenang-wenang kepada rakyat
maupun para bangsawan,tindakan tersebut mengakibatkan rasa tidak puas dari para
bagsawan,yang akhirnya berhasil membuat perjanjian dengan Raja Jhon yangdisebut
Magna Charta / Piagam agung. Dicetuskan tanggal 15 Juni 1215 yang prinsip
dasarnya memuat pembatasan kekuasaan raja dan hak asasi manusialebih penting
dari pada kedaulatan raja.Piagam tersebut menjadi lambang munculnya
perlindungan terhadap hak asasi karena mengajarkan bahwa hukum dan Undang-undang
derajadnya lebih tinggi dari pada kekuasaan raja.
Isi Magna Charta adalah SBB :
·
Raja beseerta keturunanya berjanji akan
menghormati kemerdekaan,hak,dan kebebasan Gereja Inggris.
·
Raja berjanji kepada penduduk kerajaan yang
bebas untuk memberikan hak-hak sebagai berikut :
o
Para petugas keamanan dan pemungut pajak akan
menghormati hak-hak penduduk
o
Polisi ataupun jaksa tidak dapat menuntut
seseorang tanpa bukti dan saksi yang sah
o
Seorang yang bukan budak tidak akan
ditahan,ditangkap dinyatakan bersalah tanpa alasan hukum sebagai dasar
tindakannya
o
Apabila seseorang tanpa perlidungan hukum sudah
terlanjur ditahan ,Raja berjanji akan mengoreksi kesalahannya.
Ø PETITION OF RIGHTS
Pada dasarnta berisi pertanyaan-pertanyaan mengenai hak
rakyat beserta jaminannya.Petisi ini diajukan oleh bangsawan kepada Raja di
depan Parlemen pada tahun 1628.Isinya secara garis besar menuntut hak sbb:
·
Pajak dan pungutan istimewa harus disertai
pungutan
·
Warga negara tidak boleh dipaksakan menerima
tentara di rumahnya
·
Tentara tidak boleh menggunakan hukum perang
dalam keadaan damai
Ø HOBEAS CORPUS ACT
Adalah Undang-undang yang mengatur tentang penahanan
seseorang dibuat pada tahun 1679.Isinya sebagai berikut :
·
Seseorang yang ditahan segera diperiksa dalam 2
hari setelah penahanan
·
Alasan penahanan seseorang harus disertai bukti
yang sah menurut hukum
Ø BILL OF RIGHTS
Merupaqkan undang-undang yang dicetuskan tahun 1689 dan
diterima parlemen inggris ,yang isinya mengatur tentang :
·
Kebebasan dalam pemilihan anggota parlemen
·
Kebebasan berbicara dan mengeluarkan pendapat
·
Pajak,undan-undang dan pembentukan tentara tetap
harus seijin parlemen
·
Hak warga negara untuk memeluk agama menurut
kepercayaan masing-masing
·
Parlemen berhak mengubah keputusan raja
3. Hak
Asasi manusia Di Amerika Serikat
Pemikiran jhon locke (1632-1704) yang merumuskan hak-hak alam,seperti
hak atas hidup,kebebasan,dan milik (life,liberty,and property) mengilhami
sekaligus menjadi pegangan bagi rakyat amerika sewaktu memberontak melawan
penguasa inggris pada tahun 1776.Pemikiran jhon locke ini terlihat jelas dalam
Deklarasi kemerdekaan Amerika serikat yang dikenal dengan DECLARATION OF INDEPENDENCE OF UNITED STATES.
Revolusi Amerika dengan Declaration of independence tanggal
4 juli 1776 suatu deklarasi kemerdekaan yang diumumkann secara aklamasi oleh 13
Ne3garaq bagian merupakan pula piagam hak asasi manusia karena mengandung
pernyataan “ Bahwa sesungguhnya semua bangsa diciptakan sama derajad oleh maha
pencipta.Bahwa semua manusia dianugrahi oleh penciptanya hak hidup,kemerdekaan,dan
kebebasan untuk menikmati kebahagiaan.John locke mengambarkan keadaan
naturalis,ketiak manusia telah memiliki hak dasar secara perorangan.dalam
keadaan bersama sama hidup lebih maju seperti yang disebut sebagai dengan status civilis,lock
berpendapat bahwa manusia yang berkedudukan sebagai warga negara hak-hak
dasarnya dilindungi oleh negara.
Declaration of independence di amerika menempatkan amerika
sebagai negara yang memberi perlindungan dan jaminan hak-hak asasi manusia
dalam kontitusinya,kendatipun secara resmi rakyat perancis sudah lebih dulu
memulainya sejak masa Rousseau.Presiden Amerika serikat yang terkenal sebagai
pendekar hak asasi manusia adalah Abraham lincoln,kemudian Woodrow wilson dan
Jimmy carter.
Amanat Presiden Frangklin D.Roosevelt tentang empat
kebebasan yang diucapkannya di depan Kongres amerika serikat tanggal 6 Juni
1941 yakni :
·
Kebebasan untuk berbicara dan melahirkan pikiran
( freedom of speech and expression )
·
Kebebasan memilih agama sesuai dengan keyakinan
dan kepercayaannya ( Freedom of religion )
·
Kebebasan dari rasa takut ( Freedom from fear )
·
Kebebasan dari kekurangan dan kelaparan (
Freedom from want )
Empat
kebebasan ROOsevelt ini pada hakikatnya merupakan tiang penyangga hak asasi
manusia yang paling pokok dan mendasar.
4. Hak
Asasi Manusia Di Perancis
Perjuangan Hak asasi manusia di perancis dituangkan dalam
suatu naskah pada awal revolusi
perancis.Perjuangan itu dilakukan untuk melawan rezim lama.naskah tersebut
dikenal dengan DECLARATION DES DROITS DE L’ HOMME ET DU CITOYEN yaitu
pernyataan tentang hak –hak manusia dan warga negara.Pernyataan yang dicetukan
tahun 1789 ini mencanangkan Hak atas kebebasan, Kesamaan,persaudaan atau
kesetiakawanan (Liberte,Egalite,Fraternite).Lafayette merupakan pelopor penegakan
hak asasi manusia di masyarakat Perancis yang berada di Amerika ketika Revolusi
Amerika meletus dan mengakibatkan tersusunnya DECLARATION DES DROITS DE L’
HOMME ET DU CITOYEN. Tahun 1791 semua hak hak manusi dicantumkan seluruhnya di
dalam konstitusi perancis yang kemudian ditambah dan diperluas lagi tahun 1793
dan 1848 juga dalam kontitusi tahun 1793 dan 1795. Revolusi ini diprakarsai
pemikir-pemikir besar seperti JJ.Rousseau,Voltaire,serta Montesquieu.
Hak asasi yang tersimpul dalam deklarasi
itu antara lain:
·
Manusia dilahirkan merdeka dan tetap merdeka
·
Manusia mempunyai hak yang sama
·
Manusia merdeka berbuat sesuatu tanpa merugikan
pihak lain
·
Warga negara mempunyai hak yang sama dan
mempunyai kedudukan serta pekerjaan umum
·
Manusia tidak boleh dituduh dan ditangkap selain
menurut undang-undang
·
Manusia mempunyai kemerdekaan agama dan
kepercayaan
·
Manusia merdeka mengeluarkan pikiran
·
Adanya kemerdekaan surat kabar
·
Adanya kemerdekaan bersatu dan berapat
·
Adanya kemerdekaan berserikat dan berkumpul
·
Adanya kemerdekaan bekerja ,berdagang dan
melaksanakan kerajinan
·
Adanya kemerdekaan rumah tangga
·
Adanya kemerdekaan hak milik
·
Adanya kemerdekaan lalu lintas
·
Adanya hak hidup dan mencari nafkah
5. Sebelum
Perang Dunia II
Bangkitnya sistem negara modern serta
penyebaran industri dan kebudayaan Eropa ke seluruh dunia, telah berkembang
serangkaian kebiasaan dan konvensi yang unik mengenai perlakuan manusiawi
terhadap orang-orang asing. Konvensi itu, yang diberi nama “Hukum Internasional
mengenai Tanggungjawab Negara terhadap Pelanggaran Hak-hak Orang Asing”, dapat
dianggap mewakili perhatian awal yang besar terhadap promosi dan perlindungan
hak asasi manusia di tingkat internasional. Para pendiri hukum internasional,
khususnya Francisco de Vitoria (1486-1546), Hugo Grotius (1583-1645) dan Emmerich
de Vattel (1714-1767), dari awal mereka menyadari bahwa semua orang, baik orang
asing maupun bukan, berhak atas hak-hak alamiah tertentu, dan karenanya, mereka
menekankan pentingnya memberi perlakuan yang pantas kepada orang-orang asing.
Abad ke-19 mulai menyingsing dengan
jelas minat dan perhatian internasional terhadap perlindungan hak-hak warga
negara. Perdamaian Westphalia (1648), yang mengakhiri Perang Tiga Puluh Tahun
dan yang menetapkan asas persamaan hak bagi agama Katolik Roma dan Protestan di
Jerman, telah membuka jalan ke arah itu.Satu setengah abad kemudian, sebelum Perang
Dunia II, beberapa upaya yang patut dicatat sebagai tonggak-tonggak penting,
walaupun pada pokoknya tidak berkaitan, dalam upaya menggalakkan perhatian
terhadap warga negara melalui sarana hukum internasional mulai membentuk apa
yang dewasa ini dinamakan “Hukum Hak Asasi Manusia Internasional”.
Tonggak-tonggak penting itu antara lain, doktrin perlindungan negara terhadap
orang asing, intervensi kemanusiaan, serta tonggak penting lainnya seperti akan
dielaborasi lebih jauh dalam sub-sub bahasan di bawah ini:
v Hak
Asasi Manusia dan Hukum Internasional Tradisional
Hukum internasional hanya merupakan hukum yang mewadahi pengaturan
tentang hubungan antara negara-negara belaka. Subyeknya, yakni hanya mencakup
negara. Entitas-entitas yang lain, termasuk individu, hanya menjadi objek dari
sistem itu, atau penerima manfaat (beneficiary) dari sistem tersebut. Individu,
sebagai warga negara, tunduk sepenuhnya kepada kewenangan negaranya. Dalam arti
ini, negara tentu dapat saja membuat ketentuan-ketentuan demi kepentingan warga
negaranya (individu), namun ketentuan-ketentuan semacam itu tidak memberikan
hak-hak substantif kepada individu yang dapat mereka paksakan melalui prosedur
pengadilan. Negaralah yang membela hak atau kepentingan warga negaranya apabila
mendapat perlakuan yang bertentangan dengan aturan atau perlakuan semenamena
dari negara lainnya. Apa yang dikatakan di atas dikenal dengan doktrin “perlindungan
negara terhadap orang asing” atau “state responsibility for injury to alliens”,
yang dikenal dalam hukum internasional ketika itu. Berdasarkan doktrin hukum
internasional itu, orang-orang asing berhak mengajukan tuntutan terhadap negara
tuan rumah yang melanggar aturan. Biasanya, hal ini terjadi ketika seorang
asing mengalami perlakuan sewenang-wenang di tangan aparat pemerintah, dan
negara tersebut tidak mengambil tindakan apapun atas pelanggaran itu. Doktrin
“perlindungan negara terhadap orang asing” tersebut, khususnya mengenai standar
minimal dan kesamaan perlakuan, kemudian diambil alih oleh
perkembangan-perkembangan dalam hukum hak asasi manusia internasional. Meskipun
tujuan utama klaim negara semacam itu bukanlah untuk mendapatkan kompensasi
bagi warga negaranya yang dirugikan, melainkan untuk membela hak-hak negara itu
sendiri --yang secara tidak langsung telah dilanggar melalui perlakuan yang
buruk terhadap warga negaranya.
v
Intervensi
Kemanusiaan
Begitulah posisi individu dalam hukum internasional tradisional, yang
sering ditandai menurut kebangsaannya. Berdasarkan dalil itu, negara-negara
lain tidak mempunyai hak yang sah untuk melakukan intervensi dengan alasan
melindungi warga negaranya, seandainya mereka diperlakukan dengan semena-mena.
Suatu kekecualian terhadap dalil ini adalah apa yang disebut dengan doktrin
“intervensi kemanusiaan”, yang memberikan hak yang sah untuk melakukan
intervensi. Berdasarkan “hak” ini, negara dapat mengintervensi secara militer
untuk melindungi penduduk atau sebagian penduduknya yang berada dalam suatu
negara lain jika penguasa negara tersebut memperlakukan mereka sedemikian rupa
sehingga “melanggar hak asasi mereka dan menggoncangkan hati nurani umat
manusia.” Doktrin ini dipopulerkan oleh Hugo Grotius. Tetapi banyak yang
meragukan apakah hak semacam ini benar-benar ada, yang jelas doktrin ini sering
disalahgunakan oleh negara-negara kuat yang berusaha memperbesar pengaruh
politik mereka. Sejumlah negara besar pada abad ke-19 memakai hak intervensi
kemanusiaan yang diklaim itu, antara lain, untuk mencegah Kekaisaran Ottoman
memusnahkan kaum minoritas di Timur Tengah dan di wilayah Balkan.
v
Penghapusan
Perbudakan
Hal yang di bahas di atas menggambarkan bahwa sebetulnya telah
terjadi perkembangan kemanusiaan pada hukum internasional sepanjang abad ke-19
dan awal abad ke-20. Hal yang paling menonjol di antaranya adalah penghapusan
perbudakan. Meskipun ekonomi perbudakan pada akhir abad ke-18 dan awal abad
ke-19 secara komersial telah menjadi kurang menarik bagi negara-negara Eropa
dibandingkan masa sebelumnya, gerakan penghapusan perbudakan itu juga dilandasi
oleh motif kepedulian kemanusiaan yang besar. Praktek perbudakan mula-mula
dikutuk dalam Traktat Perdamaian Paris (1814) antara Inggris dan Perancis,
namum selang 50 tahun kemudian, Akta Umum Konferensi Berlin yang mengatur
kolonisasi Eropa di Afrika menyatakan bahwa “perdagangan budak dilarang
berdasarkan asas-asas hukum internasional”. Aksi internasional menentang perbudakan
dan perdagangan budak itu terus berlanjut sepanjang abad 20. Liga Bangsa-Bangsa
mengesahkan Konvensi Penghapusan Perbudakan dan Perdagangan Budak pada tahun
1926, dan melarang praktek perbudakan di wilayah-wilayah bekas koloni Jerman
dan Turki yang berada di bawah Sistem Mandat (Mandates System) Liga
Bangsa-Bangsa pada akhir Perang Dunia I.
Konvensi 1926 ini masih tetap merupakan dokumen internasional utama
yang melarang praktek perbudakan, meskipun konvensi ini telah diamandemen
dengan suatu Protokol pada tahun 1953, dan pada tahun 1956 ditambah dengan
suplemen mengenai definisi tindakan-tindakan yang termasuk dalam perbudakan di
zaman modern.
v
Palang Merah Internasional
Hal besar yang lain dalam kemajuan hukum kemanusiaan internasional pada
paruh kedua abad ke-19 adalah pembentukan Komite Palang Merah Internasional
(1863), dan ikhtiar organisasi itu dalam memprakarsai dua konvensi
internasional untuk melindungi korban perang dan perlakuan terhadap tawanan
perang, yang dikenal dengan Konvensi Jenewa. Prakarsa dan usaha-usaha Palang
Merah Internasional ini berlanjut melewati dua perang dunia dan sesudahnya.
Organisasi internasional ini telah mensponsori sejumlah konvensi yang tidak
semata-mata menangani status dan perlakuan terhadap para prajurit yang berperang,
tetapi juga perlakuan terhadap penduduk sipil pada masa perang dan pembatasan
terhadap cara-cara berperang (conducts of war). Singkatnya organisasi
internasional ini telah berjasa melahirkan apa yang sekarang kita kenal dengan
hukum humaniter internasional (international humanitarian law).
v
Liga
Bangsa-Bangsa
Setelah berakhirnya Perang Dunia I, masyarakat internasional membentuk
Liga Bangsa-Bangsa (League of Nations) melalui Perjanjian Versailles. Selain
membentuk Liga Bangsa-Bangsa (LBB), Perjanjian Versailles juga melahirkan apa
yang dikenal sekarang dengan Organisaasi Perburuhan Internasional (International
Labour Organization). Tujuan utama Liga tersebut adalah “untuk memajukan
kerjasama internasional, mencapai perdamaian dan keamanan internasional”.
Memang Liga tersebut tidak secara eksplisit membuat ketetapan mengenai
perlindungan hak asasi manusia. Namun, dari dokumen pendiriannya, yang disebut
Covenant of the League of Nations, negara-negara anggotanya diwajibkan untuk
berupaya ke arah sasaran-sasaran kemanusiaan seperti menetapkan kondisi kerja
yang manusiawi bagi individu, larangan perdagangan perempuan dan anak,
pencegahan dan pengendalian penyakit, serta perlakuan yang adil terhadap
penduduk pribumi dan wilayah jajahan. Liga ini memiliki tiga organ utama, yaitu
Dewan, Majelis, dan Sekretariat.
Prsstasi terbesar Liga Bangsa-Bangsa bagi kemanusiaan adalah
dibentuknya Sistem Mandat (Mandates System) di bawah organisasi ini. Dengan
sistem ini, bekas koloni Jerman dan Turki yang kalah perang ditempatkan di
bawah “perwalian” negara-negara pemenang perang. Jadi “suatu kepercayaan suci
atas peradaban” diserahkan kepada negara-negara perwalian untuk menata dan
menyiapkan wilayah-wilayah mandat tersebut sampai mereka memiliki pemerintahan
sendiri. Bahasa paternalistik yang digunakan dalam Covenant boleh jadi kurang
disukai sekarang ini, namun yang jelas, negara perwalian diharuskan menjamin
tidak ada diskriminasi rasial dan agama di wilayah-wilayah yang berada di bawah
perwaliannya. Ternyata, beberapa wilayah mandat mencapai kemerdekaannya sebelum
Perang Dunia II. Wilayah-wilayah mandat yang belum mencapai kemerdekaan sebelum
Perang Dunia II, seperti Namibia dan Palestina, selanjutnya dialihkan kepada
sistem perwalian berdasarkan Piagam PBB.
Di samping itu, Liga Bangsa-Bangsa juga menjalankan fungsi pengawasan
yang berkaitan dengan “kewajiban-kewajiban yang menjadi perhatian
internasional”, sebuah prosedur dan mekanisme yang memungkinkan perlindungan
bagi kelompok-kelompok minoritas. Dengan mekanisme ini, kelompok minoritas yang
merasa dilanggar haknya dapat mengadukan masalahnya kepada Dewan Liga. Setelah
mendapat pengaduan itu, Dewan dapat mengajukan masalah itu kepada Komite ad hoc
untuk Kaum Minoritas, yang bertugas mendamaikan atau mencoba mencari penyelesaian
masalah tersebut dengan cara membangun persahabatan antara para pihak yang
bertikai. Liga Bangsa- Bangsa resmi dibubarkan pada 18 April 1946, enam bulan
setelah Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) didirikan.
6.
Setelah Perang Dunia II
Doktrin dan kelembagaan hukum internasional yang dipaparkan di atas
telah ikut mendorong perubahan yang
radikal dalam hukum internasional, yaitu berubahnya status individu sebagai
subyek dalam hukum internasional. Individu tidak lagi dipandang sebagai obyek
hukum internasional, melainkan dipandang sebagai pemegang hak dan kewajiban.
Dengan status ini, maka individu dapat berhadapan dengan negaranya sendiri di
hadapan Lembaga-Lembaga Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa Bangsa. Perubahan
ini dipercepat dengan meledaknya Perang Dunia II yang memberikan pengalaman
buruk bagi dunia internasional. Agar tidak mengulangi pengalaman yang sama,
masyarakat internasional membangun konsensus baru yang lahir dalam bentuk
norma, doktrin, dan kelembagaan baru dalam hukum internasional. Berikut ini
akan dibahas norma, doktrin, dan kelembagaan hukum internasional yang lahir
pada periode pasca Perang Dunia II yang melahirkan hukum hak asasi manusia
internasional.
v
Hak Asasi
Manusia Internasional Modern
Hukum internasional yang lama (tradisional) telah berhasil
mengembangkan berbagai doktrin dan kelembagaan yang dirancang dan ditujukan
untuk melindungi berbagai kelompok orang, mulai dari kaum budak, kaum
minoritas, bangsa-bangsa pribumi, orang-orang asing, hingga tentara (combatants).
Dari perkembangan hukum dan kelembagaan inilah kemudian terbangun landasan
konseptual dan kelembagaan hukum hak asasi manusia internasional kontemporer.Karena
itu, kita tidak bisa memahami dengan mendalam hukum hak asasi manusia
internasional saat ini tanpa didahului oleh pemahaman yang cukup tentang
akar-akar historis yang melahirkannya itu. Sangat berbeda dengan doktrin dan
kelembagaan yang mendahuluinya, hukum hak asasi manusia internasional modern
menempatkan individu sebagai subyeknya. Individu ditempatkan sebagai pemegang
hak (right-holders) yang dijamin secara internasional, semata-mata karena ia
adalah individu, bukan karena alasan kebangsaannya dari suatu negara. Justru
sebaliknya, status negara dalam hukum yang baru ini ditempatkan sebagai pemegang
kewajiban (duty-holders). Jadi relasi antara pemegang hak dan kewajiban itulah
yang menjadi pokok perhatian hukum internasional yang baru ini. Relasi keduanya
ini kemudian diwadahi dalam struktur kelembagaan yang baru, yang didesain oleh
PBB, melalui berbagai macam mekanisme atau prosedur pengaduan dan pemantauan
hak asasi manusia dalam sistem PBB. Prosedur dan mekanisme yang dimaksud, lebih
jauh akan dibahas pada bab-bab berikut dalam buku ini.
Hukum internasional yang baru itu tumbuh dan berkembang dari
perjanjian-perjanjian internasional hak asasi manusia yang terus meningkat
sejak 1948, selain berasal dari kebiasaan dan doktrin internasional.
Peningkatan pada jumlah instrumeninstrumen hak asasi manusia internasional
diiringi pula dengan semakin banyaknya jumlah negara yang mengakui dan terikat
dengannya. Hal itu berarti semakin banyak negara yang tunduk pada pengawasan
internasional yang dibangun berdasarkan hukum hak asasi manusia internasional
tersebut. Implikasinya adalah bahwa eksklusivitas kedaulatan negara menjadi
berkurang, dan negara tidak dapat lagi mengklaim dengan absah bahwa masalah hak
asasi manusia sepenuhnya merupakan urusan domestiknya.
v
Hak asasi
manusia oleh PBB
Setelah perang dunia ke dua mulai tahun 1946 disusunlah rancanagn
piagam hak asasi manusia oleh organisasi kerja sama untuk sosial ekonomi
Perserikatan Bangsa Bangsa tgerdiri dari 18 anggota.PBB membentuk komisi HAM (
Commission Of human rights ) . sidang dimulai bulan januari 1947 di bawah
pimpinan Ny.Eleanor Rossevelt dua tahun kemudian tanggal 10 desember 1948
sidang PBB dilaksanakan di istana Chaillot ,Paris menerima bauk hasil kerja
panitia tesebut .Karya itu berupa UNIVERSAL DECLARATION OF HUMAN RIGHTS atau
pernyataan sedunia tentang hak asasi manusia terdiri dari 30 pasal ,dari 58
negara yang terwakil dalam sidang tersebut 48 negara menyetujui,8 negara
abstein,dan 2 negara absen.Oleh karna itu setiap tanggal 10 desember
diperingati sebagai hari Hak Asasi manusia.
Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sebagai sebuah traktat
multilateral yanng mengikat secara hukum semua negara anggota PBB, Piagam itu
memuat dengan eksplisit pasal pasalmengenai perlindungan hak asasi manusia.
Dalam muka dimahnya tertera tekad bangsa-bangsa yang tergabung dalam PBB untuk
“menyatakan kembali keyakinan pada hak asasi manusia, pada martabat dan nilai
manusia”. Pasal 1 (3) mencantumkan bahwa salah satu tujuan PBB adalah
“memajukan dan mendorong pernghormatan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan
dasar bagi semua orang tanpa membedakan ras, jenis kelamin, bahasa, atau
agama”. Selanjutnya dalam Pasal 55 ditegaskan pula, bahwa PBB “harus memajukan
... penghormatan universal terhadap, dan ketaatan kepada, hak asasi manusia dan
kebebasan dasar bagi setiap orang”. Hal ini diperkuat lebih lanjut oleh Pasal 56,
yang menyatakan bahwa semua anggota PBB “berjanji akan mengambil tindakan
bersama dan sendiri-sendiri ... bagi tercapainya tujuan-tujuan yang dinyatakan
dalam Pasal 55. Jadi, internasionalisasi hak asasi manusia dimulai dengan
Piagam PBB tersebut.
Memang terdapat perbedaan pandangan berkenaan dengan
karakteristik legal dari kewajiban Piagam tersebut.Beberapa ahli hukum
berargumentasi bahwa persyaratan memajukan penghormatan dan ketaatan terhadap
hak asasi manusia hanyalah bersifat anjuran, bukan kewajiban hukum terhadap
para anggota. Lebih lanjut mereka mengemukakan bahwa kewajiban untuk memajukan hak asasi manusia tidak
harus menyiratkan kewajiban untuk melindungi
hak asasi manusia. Sebaliknya ahli hukum yang lain, mengajukan
argumentasi bahwa Pasal 56 memberikan kewajiban yang jelas kepada semua anggota
untuk mengambil tindakan positif menuju pada penghormatan dan ketaatan terhadap
hak asasi manusia. Dengan demikian, tidak dapat dikatakan bahwa sebuah negara
yang menyangkal hak asasi manusia sedang menjalankan kewajibannya untuk
menghormati hak asasi manusia. Akhir dari perdebatan ini adalah disetujuinya
secara umum bahwa ketentuan hak asasi manusia dalam Piagam menciptakan
kewajiban untuk melindungi hak asasi manusia yang secara hukum mengikat
anggotanya.
Kegiatan PBB dalam Bidang HAM dikelompokan
menjadi :
·
Bidang Hukum,yaitu fakta-fakta
internasional,deklarasi,dan instrumen hukum lainnya
·
Bidan Politik,yaitu melalui badan-badan seperti
Komnsa HAM PBB
Ada 6
fakta HAM yang Utama :
·
Konvenan Internasiona tentang Hak-hak sipil dan
politik (ICCPR)
·
Konvenan Internasiona tentang Hak-hak
ekonomi,sosial,dan budaya (ICESCR)
·
Konvensi mengenai penghapusan Diskriminasi RAS
(CERD)
·
Konvensi mengenai Penghapusan Diskriminasi
terhadap Wanita (CEDAW)
·
Konvensi mengenai Hak-hak Anak (CROC)
v
The International Bill
of Human Rights
“International
Bill of Human Rights” adalah istilah yang digunakan untuk menunjuk pada
tiga instrumen pokok hak asasi manusia internasional beserta optional protocolnya yang dirancang oleh PBB. Ketiga instrumen itu
adalah:
·
Deklarasi Universal
Hak Asasi Manusia (Universal
Declaration of Human Rights)
·
Kovenan Internasional
tentang Hak Sipil dan Politik (International
Covenant on Civil and Political
Rights) dan
·
Kovenan Internasional tentang
Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya(International
Covenant on Economic, Social and Cultural Rights).
Sedangkan optional protocol yang masuk dalam kategori ini adalah, “the Optional Protocol to the Covenant on Civil and Political Rights”
(Protokol Pilihan Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik).
Disebut sebagai instrumen pokok karena kedudukannya yang
sentral dalam corpus hukum hak
asasi manusia internasional. Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia disahkan
oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa pada tahun 1948. Deklarasi ini
boleh dikatakan merupakan interpretasi resmi terhadap Piagam Perserikatan
Bangsa Bangsa, yang memuat lebih rinci sejumlah hak yang didaftar sebagai Hak
Asasi Manusia. Deklarasi ini berfungsi sebagai “standar pencapaian bersama”.
Karena itu ia dirumuskan dalam bentuk deklarasi, bukan perjanjian yang akan
ditandatangani dan diratifikasi. Meskipun demikian, deklarasi itu telah
terbukti menjadi langkah raksasa dalam proses internasionalisasi hak asasi
manusia. Seiring dengan perjalanan waktu, status legal deklarasi itu terus
mendapat pengakuan yang kuat. Selain dipandang sebagai interpretasi otentik
terhadap muatan Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa, deklarasi ini juga berkembang
menjadi hukum kebiasaan internasional yang mengikat secara hukum bagi semua
negara.Dengan demikian pelanggaran terhadap deklarasi ini merupakan pelanggaran
terhadap hukum internasional. Dua kovenan yang menyusul, yakni Kovenan Internasional
tentang Hak Sipil dan Politik dan Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi,
Sosial dan Budaya, disahkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa pada
tahun 1966. Tetapi kedua Kovenan itu baru berlaku mengikat secara hukum pada
tahun 1976. Dua instrumen pokok hak asasi manusia internasional itu menunjukkan
dua bidang yang luas dari hak asasi manusia, yakni hak sipil dan politik di
satu pihak, dan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya di pihak lain. Kedua
instrumen ini disusun berdasarkan hak-hak yang tercantum di dalam Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia, tetapi dengan penjabaran yang lebih spesifik.
Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, misalnya, menjabarkan
secara lebih spesifik hak-hak mana yang bersifat “non-derogable” dan hak-hak mana yang bersifat “permissible”. Begitu pula dengan
Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, yang memuat
secara lengkap hak-hak ekonomi dan sosial, merumuskan tanggung jawab negara yang
berbeda dibandingkan dengan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan
Politik. Jadi sebetulnya dua Kovenan ini dibuat untuk menjawab masalah-masalah
praktis berkaitan dengan perlindungan hak asasi manusia.
7. . Hak Asasi Manusia di Indonesia
HAM di Indonesia bersumber dari Pancasiala.Berbagai instrument hak asasi
manusia yang dimiliki Negara Republik Indonesia yakni :
·
Undang-Undang Dasar 1945
·
Ketetapan MPR No,XVII /MPR/1998 tentang Hak
asasi Manusia
·
Undang-Undang No.39 tahun 1999 tentang Hak Asasi
manusia
Di Indonesia secara garis besar disimpulkan, hak hak asasi manusia
dapat dibeda-bedakan menjadi sebagai berikut :
·
Hak-hak asasi pribadi (personal rights) yang
meliputi kebebasan menyatakan pendapat,kebebasan memeluk agama,dan kebebasan
bergerak.
·
Hak-hak asasi ekonomi (Property Rights) yang
meliputi hak untuk memiliki sesuatu,hak untuk membeli,dan menjual serta
memanfaatkannya,
·
Hak-hak asasi Politik (Political rights) yaitu
hak untuk ikut serta dalam pemerintahan,hak dipilih dan hak untuk mendirikan
partai politik
·
Hak asasi untuk mendapatkan perlakuan yang sama
dalam hukum dan pemerintahan (Rights Of legal Equality )
·
Hak –hak asasi sosial dan kebudayaan(Social and
culture rights).Misalnya hak untuk memilih pendidikan dan haj untuk
mengembangkan kebudayaan
·
Hak asasi untuk mendapatkan perlakuan tata cara
peradilan dan perlindungan (Procedural Rights).
Misalnya peraturan dalam hal
penahanan,penjangkapan,penggeledahan dan peradilan.
Dalam UUD 1945 dan peraturan pelaksanaannya
:
·
Latar belakang perumusan HAM di dalam UUD 1945 (
pendebatan antara Soekarno,Soepomo dengan Moch.Hatta ).
·
Pencantuman HAM dalam UUD 1945 relatif singkat (
hasil kompromi )
·
Pengaturan HAM di dalam UUD 1945 setelah
perubahan ke 2 tahun 2000; Pasal 27,28 ( Bab x tentang Warga Negara ) , pasal 28
A -28j ( Bab X A tentang HAM) ,pasal 29,30,31,dan 34.
Berbeda dengan di Inggris dan Perancis yang mengawali sejarah
perkembangan dan perjuangan hak asasi manusianya dengan menampilkan sosok
pertentangan kepentingan antara kaum bangsawan dan rajanya yang lebih banyak
mewakili kepentingan lapisan atas atau golongan tertentu saja. Perjuangan
hak-hak asasi manusia Indonesia mencerminkan bentuk pertentangan kepentingan
yang lebih besar, dapat dikatakan terjadi sejak masuk dan bercokolnya bangsa
asing di Indonesia dalam jangka waktu yang lama. Sehingga timbul berbagai
perlawanan dari rakyat untuk mengusir penjajah.
Dengan demikian sifat perjuangan dalam mewujudkan tegaknya HAM di
Indonesia itu tidak bisa dilihat sebagai pertentangan yang hanya mewakili
kepentingan suatu golongan tertentu saja, melainkan menyangkut kepentingan
bangsa Indonesia secara utuh. Hal ini tidak berarti bahwa sebelum bangsa
Indonesia mengalami masa penjajahan bangsa asing, tidak pernah mengalami
gejolak berupa timbulnya penindasan manusia atas manusia. Pertentangan
kepentingan manusia dengan segala atributnya (sebagai raja, penguasa,
bangsawan, pembesar dan seterusnya) akan selalu ada dan timbul tenggelam
sejalan dengan perkembangan peradaban manusia. Hanya saja di bumi Nusantara
warna pertentangan-pertentangan yang ada tidak begitu menonjol dalam panggung
sejarah, bahkan sebaliknya dalam catatan sejarah yang ada berupa kejayaan
bangsa Indonesia ketika berhasil dipersatukan di bawah panji-panji kebesaran
Sriwijaya pada abad VII hingga pertengahan abad IX, dan kerajaan Majapahit
sekitar abad XII hingga permulaan abad XVI. Hingga kemudian diskursus tentang HAM
memasuki babakan baru, pada saat Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI) yang bertugas menyiapkan rancangan UUD pada tahun 1945,
dalam pembahasan-pembahasan tentang sebuah konstitusi bagi negara yang akan
segera merdeka, silang selisih tentang perumusan HAM sesungguhnya telah muncul.
Di sana terjadi perbedaan antara Soekarno dan Soepomo di satu pihak dan
Mohammad Hatta dan Mohammad Yamin di pihak lain. Pihak yang pertama menolak
dimasukkannya HAM terutama yang individual ke dalam UUD karena menurut mereka
Indonesia harus dibangun sebagai negara kekeluargaan. Sedangkan pihak kedua
menghendaki agar UUD itu memuat masalah-masalah HAM secara eksplisit.
Sehari setelah proklamasi kemerdekaan, tanggal 18 Agustus 1945, Panitya
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengadakan sidang untuk mengesahkan UUD
1945 sebagai UUD negara Republik Indonesia. Dengan demikian terwujudlah
perangkat hukum yang di dalamnya memuat hak-hak dasar/asasi manusia Indonesia
serta kewajiban-kewajiban yang bersifat dasar/asasi pula. Seperti yang tertuang
dalam Pembukaan, pernyataan mengenai hak-hak asasi manusia tidak mendahulukan
hak-hak asasi individu, melainkan pengakuan atas hak yang bersifat umum, yaitu
hak bangsa. Hal ini seirama dengan latar belakang perjuangan hak-hak asasi
manusia Indonesia, yang bersifat kebangsaan dan bukan bersifat individu.Sedangkan
istilah atau perkataan hak asasi manusia itu sendiri sebenarnya tidak dijumpai
dalam UUD 1945 baik dalam pembukaan, batang tubuh, maupun penjelasannya. Istilah
yang dapat ditemukan adalah pencantuman dengan tegas perkataan hak dan
kewajiban warga negara, dan hak-hak Dewan Perwakilan Rakyat. Baru setelah UUD
1945 mengalami perubahan atau amandemen kedua, istilah hak asasi manusia
dicantumkan secara tegas.
Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia pernah mengalami perubahan
konstitusi dari UUD 1945 menjadi konstitusi RIS (1949), yang di dalamnya memuat
ketentuan hak-hak asasi manusia yang tercantum dalam Pasal 7 sampai dengan 33.
Sedangkan setelah konstitusi RIS berubah menjadi UUDS (1950), ketentuan
mengenai hak-hak asasi manusia dimuat dalam Pasal 7 sampai dengan 34. Kedua
konstitusi yang disebut terakhir dirancang oleh Soepomo yang muatan hak
asasinya banyak mencontoh Piagam Hak Asasi yang dihasilkan oleh Perserikatan
Bangsa-Bangsa, yaitu The Universal Declaration of human Rights tahun 1948 yang
berisikan 30 Pasal.
Dengan Dekrit Presiden RI tanggal 5 juli 1959, maka UUD 1945 dinyatakan
berlaku lagi dan UUDS 1950 dinyatakan tidak berlaku. Hal ini berarti
ketentuan-ketentuan yang mengatur hak-hak asasi manusia Indonesia yang berlaku
adalah sebagaimana yang tercantum dalam UUD 1945. Pemahaman atas hak-hak asasi
manusia antara tahun 1959 hingga tahun 1965 menjadi amat terbatas karena
pelaksanaan UUD 1945 dikaitkan dengan paham NASAKOM yang membuang paham yang
berbau Barat. Dalam masa Orde Lama ini banyak terjadi penyimpangan-penyimpangan
terhadap Pancasila dan UUD 1945 yang suasananya diliputi penuh pertentangan
antara golongan politik dan puncaknya terjadi pemberontakan G-30-S/PKI tahun 1965. Hal ini mendorong
lahirnya Orde Baru tahun 1966 sebagai koreksi terhadap Orde Lama. Dalam awal
masa Orde baru pernah diusahakan untuk menelaah kembali masalah HAM, yang
melahirkan sebuah rancangan Ketetapan MPRS, yaitu berupa rancangan Pimpinan
MPRS RI No. A3/I/Ad Hoc B/MPRS/1966, yang terdiri dari Mukadimah dan 31 Pasal
tentang HAM. Namun rancangan ini tidak berhasil disepakati menjadi suatu
ketetapan.
Kemudian di dalam pidato kenegaraan Presiden RI pada pertengahan bulan
Agustus 1990, dinyatakan bahwa rujukan Indonesia mengenai HAM adalah sila kedua
Pancasila “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab” dalam kesatuan dengan sila-sila
Pancasila lainnya. Secara historis pernyataan Presiden mengenai HAM tersebut
amat penting, karena sejak saat itu secara ideologis, politis dan konseptual
HAM dipahami sebagai suatu implementasi dari sila-sila Pancasila yang merupakan
dasar negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia. Meskipun demikian, secara
Ideologis, politis dan konseptual, sila kedua tersebut agak diabaikan sebagai
sila yang mengatur HAM, karena konsep HAM dianggap berasal dari paham
individualisme dan liberalisme yang secara ideologis tidak diterima.Perkembangan
selanjutnya adalah dengan dibentuknya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS
HAM) berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 50 Tahun 1993 tanggal 7 Juni 1993.
Pembentukan KOMNAS HAM tersebut pada saat bangsa Indonesia sedang giat
melaksanakan pembangunan, menunjukkan keterkaitan yang erat antara penegakkan
HAM di satu pihak dan penegakkan hukum di pihak lainnya. Hal ini senada dengan
deklarasi PBB tahun 1986, yang menyatakan HAM merupakan tujuan sekaligus sarana
pembangunan. Keikutsertaan rakyat dalam pembangunan bukan sekedar aspirasi,
melainkan kunci keseluruhan hak asasi atas pembangunan itu sendiri. Dan menjadi
tugas badan-badan pembangunan internasional dan nasional untuk menempatkan HAM
sebagai fokus pembangunan Guna lebih memantapkan perhatian atas perkembangan
HAM di Indonesia, oleh berbagai kalangan masyarakat (organisasi maupun
lembaga), telah diusulkan agar dapat diterbitkannya suatu Ketetapan MPR yang
memuat piagam hak-hak asasi Manusia atau Ketetapan MPR tentang GBHN yang
didalamnya memuat operasionalisasi daripada hak-hak dan kewajiban-kewajiban
asasi manusia Indonesia yang ada dalam UUD 1945. Akhirnya ketetapan MPR RI yang
diharapkan memuat secara adanya HAM itu dapat diwujudkan dalam masa Orde
Reformasi, yaitu selama Sidang Istimewa MPR yangberlangsung dari tanggal 10
sampai dengan 13 November 1988. Dalam rapat paripurna ke-4 tanggal 13 November
1988, telah diputuskan lahirnya Ketetapan MPR RI No. XVII/MPR/1988 tentang Hak
Asasi Manusia. Kemudian Ketetapan MPR tersebut menjadi salah satu acuan dasar
bagi lahirnya UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang disahkan pada
tanggal 23 september 1999. Undang-Undang ini kemudian diikuti lahirnya Perpu No. 1 Tahun 1999 yang
kemudian disempurnakan dan ditetapkan
menjadi UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Sebagai bagian dari HAM,
sebelumnya telah pula lahir UU No. 9 Tahun 1998
tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum yang disahkan dan
diundangkan di Jakarta pada tanggal 26 oktober 1998, serta dimuat dalam LNRI
Tahun 1999 No. 165.
Di samping itu, Indonesia telah
merativikasi pula beberapa konvensi internasional yang mengatur HAM, antara
lain :
·
Deklarasi tentang Perlindungan dan Penyiksaan,
melalui UU No. 5 Tahun 1998.
·
Konvensi mengenai Hak Politik Wanita 1979, melalui UU No. 68
Tahun 1958.
·
Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
Terhadap wanita, melalui UU No. 7 Tahun 1984.
·
Konvensi Perlindungan Hak-Hak Anak, melalui
Keppres No. 36 Tahun 1990.
·
Konvensi tentang Ketenagakerjaan, melalui UU No.
25 Tahun 1997, yang pelaksanaannya ditangguhkan sementara.
·
Konvensi tentang Penghapusan Bentuk Diskriminasi
Ras Tahun 1999, melalui UU No. 29 Tahun 1999.