Kamis, 13 Juni 2013

Perbandingan UU Lingkungan Hidup

PENDAHULUAN


Perkembangan mengenai Undang – Undang lingkungan hidup khususnya di Indonesia, tidak dapat dipisahkan oleh pengaruh gerakan Negara- Negara maju untuk memberikan perhatian yang lebih besar terhadap lingkungan hidup, mengingat bahwa lingkungan hidup telah menjadi permasalahan yang perlu ditanggulangi bersama – sama demi kelangsungan hidup di dunia ini. Konfrensi Internasional tentang lingkungan hidup yang diadakan pada bulan juli 1972 menghasilkan suatu deklarasi yang kita kenal dengan Deklarasi Stockholm yang berisi 26 asas dan 109 rekomendasi. Berdasarkan hal tersebut Indonesia sebagai Negara yang kaya akan sumber daya alamnya, perlu rasanya mengadopsi deklarasi tersebut dan mengimplementasikannya ke dalam Undang – Undang yang baru terwujud pada tahun 1982 dengan di Undangkannya yaitu Undang – Undang No.4 Tahun 1982 Tentang Ketentuan – Ketentuan Pokok Pengelolaan Linkungan Hidup yang menjadi momentum awal pembangunan perangkat hukum sebagai dasar bagi upaya pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup. Dan UU tersebut telah mengalami dua kali penyempurnaan yaitu dengan diundangkannya UU. No.23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan UU. No.32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Perbedaan yang nampak dalam ke tiga perundang – undangan ini adalah :
UU. No.4 Tahun 1982
Terdiri dari 9 Bab dan 24 Pasal
UU. No.23 Tahun 1997
Terdiri dari 11 Bab dan 52 Pasal
UU. No.32 Tahun 2009
Terdiri dari 17 Bab dan 127 Pasal

UU. No.4 Tahun 1982
Terbitnya UU ini sebagai akibat dari tindakan manusia yang mengeksploitasi Sumber Daya Alam tanpa memperhatikan kelestaraian lingkungan, sehingga masa depan generasi mendatang terusik karenanya, oleh karena itu perlu ditetapkan hokum yang mengatur tentang lingkungan yang bersifat nasional, karena ketentuan yang sudah ada sifatnya sporadis.

Ketentuan umum diatur dalam Pasal 1 terdiri dari 14 ayat
Defenisi diatur dalam Pasal 1 ayat (1) : Lingkungan Hidup adlah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan mahluk hidup, termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta mahluk hidup lainnya.

Asas hanya di atur dalam 1 Pasal
Tujuan diatur dalam 1 Pasal dan 5 ayat
Tidak mengatur inventarisasi lingkungan hidup
Tentang hak, kewajiban dan wewenang diatur dalam 6 Pasal
Tentang perlindungan lingkungan hidup diatur dalam 7 Pasal
Tentang kelembagaan diatur dalam 2 Pasal
Tentang ganti rugi dan biaya pemulihan diatur dalam 2 pasal

Ketentuan Pidana diatur dalam 1 Pasal dan 3 ayat yaitu :
Pencemaran dan kerusakan lingkungan akibat kelalaian diancam pidana kurungan selama – lamanya 1 ( satu ) tahun dan atau denda sebanyak Rp.1000.000.- ( Satu Juta Rupiah ), sedangkan akibat dengan sengaja ancaman pidana penjaraNya 10 ( Sepuluh ) tahun dan atau denda sebanyak – banyaknya Rp.100.000.000.- (Seratus Juta Rupiah).

Bab IV Perlindungan Lingkungan hidup ada 7 Pasal
Tidak mengatur audit lingkungan
Tidak mengatur masalah penyidikan
Tidak mengatur mengenai wilayah ekoregion
Ketentuan pidananya kurang lengkap


UU. No.23 Tahun 1997
Adanya UU ini akibat perkembangan dan kemajuan industri yang pesat, sehingga perlu ditata penanganan limbah yang dihasilkan oleh industri – industri.

Ketentuan Umum diatur dalam 25 ayat
Definisi diatur dalam Pasal 1 ayat (1) yaitu : Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan mahluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta mahluk hidup lain.

Asas, Tujuan dan Sasaran diatur dalam 2 Pasal dan 6 ayat
Tidak mengatur inventarisasi lingkungan hidup
Bab V Mengatur Pelestarian Fungsi Lingkungan hidup diatur dalam 4 Pasal
Mengatur tentang audit lingkungan
Tidak mengatur wilayah ekoregion
Bab VIII mengatur mengenai Penyidikan dalam 1 Pasal
Ketentuan Pidana diatur dalam 8 Pasal
Pencemaran dan kerusakan lingkungan akibat kealpaan diancam pidana penjara paling lama 3 ( Tiga ) tahun dan denda paling banyak Rp.100.000.000.- ( Seratus juta rupiah ), sedangkan Pencemaran yang dilakukan dengan sengaja maka ancaman pidana penjara paling lama 10 ( Sepuluh ) tahun dan denda paling banyak Rp.500.000.000.- ( Lima Ratus Juta Rupiah ).

UU. No.32 Tahun 2009
Munculnya UU ini akibat adanya ancaman pemanasan global yang semakin meningkat.
Ketentuan Umum diatur dalam 39 Pasal, lebih lengkap.
Definisi diatur dalam Pasal 1 ayat ( 1 ) yaitu : Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan mahluk hidup termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta mahluk hidup lainnya.

Asas diatur dalam 1 Pasal dan 14 ayat
Tujuan diatur dalam 1 Pasal dan 10 ayat
Adanya pengaturan inventarisasi lingkungan hidup, diatur dalam 1 Pasal dan 2 ayat
Mengatur tentang audit lingkungan
Adanya pengaturan penetapan wilayah ekoregion, diatur dalam 2 Pasal dan 2 ayat
Bab V Pengendalian diatur dalam 44 Pasal
Ruang lingkup diatur dalam 1 Pasal dan 6 ayat
Bab XIV, mengatur tentang penyidikan dan pembuktian dalam 3 pasal dan 9 ayat
Ketentuan pidana diatur dalam 24 Pasal, lebih lengkap.

Pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup akibat kelalaian ancaman pidana penjara paling singkat 1 ( Satu ) tahun dan paling lama 3 ( tiga ) tahun dan denda paling sedikit Rp.1000.000.000.- ( satu Milyar Rupiah ) dan paling banyak Rp.3.000.000.000.- ( Tiga Milyar Rupiah ). Sedangkan akibat dengan sengaja ancaman pidana penjara paling sedikit 10 ( Sepuluh ) tahun dan denda paling sedikit Rp.3.000.000.000.- ( Tiga Milyar Rupiah ) dan paling banyak Rp.10.000.000.000.- ( Sepuluh Milyar Rupiah ).





Politik Hukum

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kejahatan, baik dalam arti sebagai tindak pidana (konsepsi yuridis) maupun dalam arti sebagai perilaku yang menyimpang (konsepsi sosiologis), eksistensinya diakui dan diterima sebagai suatu fakta, baik oleh masyarakat yang paling sederhana maupun oleh masyarakat yang paling modern. Salah satu alasan pengakuan terhadap eksistensi kejahatan tersebut, karena kejahatan itu merupakan salah satu bentuk tingkah laku manusia yang sangat
merugikan masyarakat, seperti pemerkosaan, pembunuhan, penganiayaan, perampokan dan lain-lain. Kejahatan sebagai salah satu bentuk tingkah laku manusia yang sangat merugikan masyarakat (karena mengancam norma-norma yang mendasari kehidupan atau keteraturan sosial, dapat menimbulkan ketegangan individual maupun ketegangan-ketegangan sosial), tidak saja diakui oleh para ahli secara perorangan atau oleh masyarakat tertentu, tetapi juga oleh masyarakat bangsa-bangsa melalui kongres-kongres internasional, antara lain dinyatakan di dalam :
a. Laporan Kongres PBB ke-5 tahun 1975 di Jenewa, telah dinyatakan, bahwa tidak   diragukan lagi kejahatan telah membawa akibat-akibat sebagai berikut :
1)  Mengganggu atau merintangi tercapainya tujuan nasional;
2)  Mencegah penggunaan optimal sumber-sumber nasional.
b. Kongres ke-6 tahun 1980 di Caracas, dalam salah satu pertimbangan deklarasinya, antara lain dinyatakan :
“Bahwa fenomena kejahatan melalui pengaruhnya terhadap masyarakat, mengganggu seluruh pembangunan bangsa-bangsa, merusak kesejahteraan rakyat baik spiritual maupun material, membahayakan martabat kemanusian dan menciptakan suasana takut dan kekerasan yang merongrong kualitas lingkungan hidup”.
Berdasarkan luasnya dampak negatif yang ditimbulkan oleh kejahatan, dapat dipahami apabila bangsa-bangsa di dunia berupaya dengan segala daya yang ada untuk melakukan penanggulangan terhadap kejahatan Salah satu upaya penanggulangan terhadap kejahatan yang telah dilakukan selama ini bahkan merupakan cara yang paling tua setua peradaban manusia itu sendiri, ialah menggunakan hukum pidana dengan sanksinya berupa pidana. Beberapa alasan penggunaan hukum pidana sebagai sarana penanggulangan
kejahatan, dikemukakan oleh :

a. Roeslan Saleh, menyatakan :
1)  Perlu tidaknya hukum pidana tidak terletak pada persoalan tujuantujuan yang hendak dicapai tetapi terletak pada persoalan seberapa jauh untuk mencapai tujuan itu boleh menggunakan paksaan; persoalannya bukan terletak pada hasil yang akan dicapai, tetapi dalam pertimbangan antara nilai dari hasil itu dan dalam dari batasbatas kebebasan pribadi masing-masing;
2)  Ada usaha-usaha perbaikan atau perawatan yang tidak mempunyai arti sama sekali bagi si terhukum dan disamping itu harus ada reaksi atas pelanggaran-pelanggaran norma yang telah dilakukan itu dan tidaklah dapat dibiarkan begitu saja;
3)  Pengaruh pidana atau hukum pidana bukan semata-mata ditujukan kepada si penjahat, tetapi juga untuk mempengaruhi orang yang tidak jahat, yaitu warga masyarakat yang mentaati norma-norma masyarakat.
c. Marc Ancel, menyatakan :
Sistem hukum pidana, tindak pidana, penilaian hakim terhadap si pelanggar dalam hubungannya dengan hukum secara murni dan pidana merupakan lembaga-lembaga yang harus tetap dipertahankan.
d. Muladi, menyatakan :
Hukum pidana dan pidana masih tetap diperlukan sebagai sarana penanggulangan kejahatan, karena di dalamnya tidak saja terkandung aspek rehabilitasi dan koreksi, tetapi juga aspek pengamanan masyarakat terhadap pelaku tindak pidana yang berat.
Pengguna hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan, dalam kenyataanya bukan saja tidak mampu menanggulangi kejahatan secara tuntas, tetapi lebih parah daripada itu telah menimbulkan penderitaan yang sangat besar bagi yang terkena, baik sebagai akibat dari proses menegakkannya (dalam arti sempit) maupun sebagai akibat dari pengenaan pidananya. Tidak yang selalu bersifat sejahtera (welfare), baik tujuan jangka pendek berupa resosialisasi terpidana, tujuan menengah berupa pengendalian kejahatan, maupun tujuan jangka panjang berupa kesejahteraan sosial, seringkali bersifat unwelfare sebagai dampak penerapan sanksi negatif berupa pidana, baik hal ini berupa hilangnya kemerdekaan, hilangnya atau berkurangnya harta benda, hilangnya nyawa, stigma sosial, dan sebagainya”. Dengan kata lain, dalam kenyataannya hukum pidana telah gagal melaksanakan fungsinya, yaitu menanggulangi kejahatan (fungsi primer) dan membatasi kekuasaan pemerintah dalam menanggulangi kejahatan (fungsi sekunder).
Kegagalan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan, terbukti dengan meningkatnya kejahatan dari tahun ke tahun. Peningkatan itu tidak hanya dari segi kuantitasnya, tetapi juga pada kualitasnya. Misalnya penggunaan teknologi canggih dan perubahan pola modus operandi yang melahirkan kejahatan white collar, seperti kejahatan korporasi, kejahatan pemalsuan pajak, kejahatan komputer, pencemaran dan perusakan lingkungan hidup, penipuan konsumen dan sebagainya dengan korban yang tidak hanya berorienasi kepada individu, tetapi juga kepada masyarakat dan bahkan negara. Penanggulangan kejahatan dengan menggunakan (hukum) pidana oeh Gene Kassebaum disebut sebagai older philosophy of control. Pendapat lain menyatakan, bahwa (hukum) pidana merupakan “peninggalan dari kebiadaban kita masa lalu (a vestige of our savage past)” yang seharusnya dihindari. Pendapat ini nampaknya didasarkan pada pandangan, bahwa pidana merupakan tindakan perlakuan atau pengenaan penderitaan yang kejam. Memang sejarah hukum pidana menurut M. Cherif Bassiouni, penuh dengan gambaran-gambaran mengenai perlakuan yang oleh ukuran-ukuran sekarang dipandang kejam dan melampaui batas. Dikemukakan selanjutnya bahwa gerakan pembaharuan pidana di Eropa Kontinental dan di Inggris, terutama justru merupakan reaksi humanistis terhadap kekejaman pidana. Atas dasar pandangan yang demikian pulalah kiranya, ada pendapat yang menyatakan bahwa teori retirbutif atau teori pembalasan dalam hal pemindanaan merupakan a relic of barbarism.
Kampanye anti pidana tersebut masih terdengar di abad ke-20 ini, dengan slogan barunya yang terkenal the struggle against punish atau abolition of punishment. Ditemukan oleh seorang ahli psychiatry forensic sekaligus seorang kriminolog bernama Olof Kingberg. Bahwa kejahatan pada umumnya merupakan perwujudan dari ketidaknormalan atau ketidakmatangan si pelanggar (the exoression of an offrenders abnormality or immaturity) dari pada (punishment). kriminolog lainnya bernama Karl Mengatakan, “sikap memidana” (punitive Attitude) harus diganti dengan :sikap mengobati” (therepeutic attitude)  Ide penghapusan pidana ini dikemukakan pula oleh Filippo Gramatica, seorang tokoh ekstrim dari aliran defense sociale yang merupakan perkembangan lebih lanjut dari aliran modern. Menurut Gramatica, hukum perlindungan sosial harus menggantikan hukum pidana yang ada sekarang. Tujuan utama hukum perlindungan sosial adalah mengintegrasikan individu ke dalam tertib sosial dan bukan pemidanaan terhadap perbuatannya. Hukum perlindungan sosial mensyaratkan penghapusan pertanggungjawaban pidana (kesalahan) dan tempatnya digantikan oleh pandangan tentang perbuatan anti sosial. Jadi pada prinsipnya ajaran Gramatica menolak konsepsi-konsepsi mengenai tindak pidana, penjahat dan pidana.

B. Identifikasi Masalah :
 Berdasarkan uraian dalam bab pendahuluan di atas maka permasalahan yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini adalah :
1. Apakah yang dimaksud dengan Pelaksanaan Politik Hukum  Pidana?
2.Bagaimanakah Pendekatan dalam Pelaksanaan Politik Hukum Pidana Guna Penanggulangan Kejahatan ?
3. Apa Saja Yang Menjadi Tahapan Pelaksanaan Politik Hukum Pidana ?

C. Tujuan Penelitian dan Kegunaan Penelitian
1.  Tujuan Penelitian :
a. Untuk mengetahui dan menjelaskan pengertian dan ruang lingkup politik hukum pidana;
b. Untuk mengetahui dan menjelaskan fungsi politik hukum pidana dalam penanggulangan  kejahatan
c.  Untuk mengetahui apa saja tahapan – tahapan dalam Pelaksanaan Politik hukum Pidana.
2.   Kegunaan Penelitian :
a.   Kegunaan Teoritis
      Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu hukum   di Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan upaya penanggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum pidana.
b.   Kegunaan Praktis
      Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan-masukan dan alternatif bagi       pemerintah dan penegakan hukum dalam rangka penanggulangan terhadap kejahatan.

D. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode Kualitatif, yaitu mengacu pada sumber – sumber pustaka seperti buku dan artikel. Selain itu penelitian mengacu pada pendapat para ahli. Tidak menggunakan angka – angka atau rumusan – rumusan.














BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Urgensi Penanggulangan Kejahatan Dengan Hukum Pidana.
Disatu sisi muncul kampanye anti pidana dan hukum pidana sebagai reaksi terhadap kenyataan, bahwa penggunaan hukum pidana dan sanksinya berupa pidana sebagai sarana penanggulangan kejahatan bukan saja tidak mampu menanggulangi kejahatan secara tuntas, melainkan juga telah menimbulkan dampak negatif yang sangat merugikan bagi yang terkena, tidak boleh diabaikan. Di sisi lain hukum pidana dan pidana masih tetap diperlukan sebagai sarana penanggulangan kejahatan, karena sampai saat ini masih tetap dipergunakan dan sampai saat ini pula belum ada satu pun negara yang tidak mempergunakan hukum pidana sebagai sarana penanggulangan kejahatan. Bahkan penggunaan hukum pidana semakin berkembang sejalan dengan perkembangan kejahatan itu sendiri, walaupun perdebatan mengenai hukum pidana menurut Ankeri Anttilia.  telah berlangsung beratus-ratus tahun. Bahkan menurut Muladi dewasa ini masalah hukum pidana dan pidana menjadi sangat kompleks sebagai akibat dari usaha untuk lebih memperhatikan faktor-faktor yang menyangkut hak-hak asasi manusia, serta menjadikan hukum pidana dan pidana bersifat operasional dan fungsional. Persoalannya sekarang, apabila hukum pidana dengan sanksinya berupa pidana ingin tetap dipergunakan sebagai sarana penanggulangan kejahatan, maka tidak ada cara lain kecuali mengupayakan agar penegakan hukum pidana disamping mampu menanggulangi kejahatan juga tidak boleh menimbulkan dampak negatif yang sangat merugikan bagi yang terkena.  Untuk mewujudkan hukum pidana dan pemidanaan yang mampu menanggulangi kejahatan dan tidak menimbulkan dampak negatif yang sangat merugikan bagi yang terkena, maka :
a.Penegakan hukum pidana dan pemidanaan tidak boleh lagi dilihat sebagai satu-satunya  tumpuan harapan untuk dapat menyelesaikan atau menanggulangi kejahatan secara tuntas. Sebab, pada hakikatnya kejahatan merupakan “masalah kemanusiaan” dan “masalah sosial”, yang tidak dapat diatasi semata-mata dengan hukum pidana. Sebagai suatu masalah sosial, kejahatan merupakan suatu fenomena kemasyarakatan yang dinamis yang selalu tumbuh dan terkait dengan fenomena dan struktur kemasyarakatan lainnya yang sangat kompleks.
b.Penegakkan hukum pidana dan pemidanaan tidak boleh lagi dilihat sebagai masalah hukum semata-mata (tidak boleh lagi berpegang pada asas legalitas yang rigit dan tujuan pemidanaan yang sempit), tetapi juga merugikan masalah kebijakan (the problem of policy).
Sebagai suatu masalah-masalah kebijakan, maka penggunaan hukum pidana sebenarnya tidak merupakan suatu keharusan. Tidak ada absolutisme dalam bidang kebijakan, karena pada hakikatnya dalam masalah kebijakan orang dihadapkan pada masalah penilaian dan pemilihan dari berbagai macam alternatif. Dengan demikian masalah pengendalian atau penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sarana hukum pidana, hanya merupakan salah satu alternatif yang dapat dilakukan untuk menanggulangi kejahatan dari sekian banyak alternatif yang dapat dilakukan. Sebagai salah satu alternatif yang dapat dilakukan untuk menanggulangi kejahatan, maka penegakkan hukum pidana harus dilihat sebagai bagian dari politik kriminal (criminal policy), yakni usaha rasional untuk menanggulangi kejahatan. Sebagai bagian dari politik kriminal, maka penegakan hukum pidana sebagai suatu proses kebijakan dapat diartikan sebagai “usaha rasional untuk menanggulangi kejahatan dengan menggunakan hukum pidana”. Ini pulalah yang menjadi definisi dari “politik hukum pidana”. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa latar belakang penggunaan politik hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan dengan hukum pidana adalah keadaan penegakan hukum pidana yang bukan saja tidak mampu menanggulangi kejahatan secara tuntas, tetapi juga telah menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi yang terkena, baik hal itu berupa hilangnya kemerdekaan, hilangnya atau berkurangnya harta benda, hilangnya nyawa, stigma sosial dan lain sebagainya. Dengan kata lain, hukum pidana telah gagal melaksanakan fungsinya, yaitu menanggulangi kejahatan (fungsi primer) dan membatasi kekuasaan pemerintah dalam menaggulangi kejahatan (fungsi sekunder).
Kegagalan hukum pidana melaksanakan fungsinya (baik fungsi primer maupun fungsi sekunder) merupakan akibat dari sikap aparat penegak hukum yang memandang penegakan hukum pidana dan penerapan sanksinya berupa pidana sebagai konsekuensi logis dari setiap kejahatan, sehingga apabila hukum pidana dan pidana telah diterapkan, maka penanggulangan kejahatan dianggap selesai. Pandangan yang demikian telah membentuk sikap para penegak hukum untuk selalu menegakkan hukum pidana dengan mengenakan pidana yang berat terhadap setiap kejahatan. Walaupun untuk menerapkan hukum pidana dan pidana tersebut, aparat penegak hukum harus menempuh berbagai cara termasuk cara-cara yang bertentangan dengan hak asasi manusia yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab. Dengan menggunakan politik hukum pidana (pendekatan kebijakan), penegakan hukum pidana dengan sanksinya berupa pidana tidak dilihat sebagai suatu keharusan dalam menanggulangi kejahatan, melainkan dilihat sebagai suatu kebijakan yang menempatkan hukum pidana dan sanksinya berupa pidana sebagai salah satu alternatif dari sekian banyak alternatif yang dapat dilakukan untuk menanggulangi kejahatan. Dengan pandangan yang demikian, maka penegakkan hukum pidana dengan sanksinya berupa pidana hanya akan digunakan untuk dicapai dengan hukum pidana dan pidana tersebut. Dengan kata lain, politik hukum melihat penegakan hukum pidana dan pemidanaan sebagai salah satu sarana penanggulangan kejahatan untuk mencapai suatu tujuan. Sebagai salah satu sarana, maka penggunaan hukum pidana dan pidana bukan suatu keharusan.
B. Pembaharuan Substansi Hukum Pidana
“Pembaharuan” atau “Pembaruan” dalam kamus umum Bahasa Indonesia karangan W.J.S. Poerwadarminta  diartikan sebagai “perbuatan atau cara membarui”. “Membarui” mempunyai tiga pengertian, yaitu (1) Memperbaiki supaya menjadi baru (merehab, pen.); (2) Mengulang sekali lagi/memulai lagi; (3) Mengganti dengan yang baru. Menghubungkan ketiga pengertian di atas dengan hukum pidana sebagai obyek pembaharuan, maka pengertian yang paling tepat untuk digunakan untuk pembaharuan hukum pidana adalah pengertian yang ketiga, yaitu “mengganti dengan yang baru”. Sebab, menurut Gustav Radbruch membarui hukum pidana tidak berarti memperbaiki hukum pidana, akan tetapi menggantikannya dengan yang lebih baik.
Bertolak dari pendapat Gustav Radbruch diatas dikaitkan dengan pembahruan hukum pidana Indonesia, khususnya KUHP, Sudarto mengatakan, bahwa cukup banyak yang telah dilakukan, amun apa yang telah dikerjakan itu sama sekali tidak bisa dikatakan suatu law Reform secara total seperti yang dimaksud oleh Gustav Radbrrch. Apa yang telah dilakukan adalah tambal sulam.
Berdasarkan uraian tentang pengertian “pembaharuan” yang telah dikemukakan diatas, maka dapat dinyatakan bahwa pembaharuan diatas, maka dapat dinyatakan bahwa pembaharuan hukum pidana diartikan sebagai usaha atau cara untuk menggantikan hukum pidana yang ada dengan hukum pidana yang lebih baik, yang sesuai dengan keadilan dan perkembangan masyarakat. Hukum pidana meliputi hukum pidana material, hukum pidana formal dan hukum pelaksanaan pidana atau sering juga disebut hukum pidana substantif, hukum acara pidana dan hukum pelaksanaan pidana. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa ruang lingkup pidana tersebut, yaitu hukum pidana material atau hukum pidana substantif, hukum pidana formal atau hukum acara pidana dan hukum pelaksanaan pidana.  Sehubungan dengan ruang lingkup pembaharuan hukum pidana tersebut, Sudarto  menyatakan :
Pelaksanaan pembaharuan hukum pidana yang menyeluruh harus meliputi pembaharuan hukum pidana material (substantif). Hukum pidana formal (hukum acara pidana) dan hukum pelaksanaan pidana (strafvillsteckuenggesterz). Ketiga bidang hukum pidana itu harus bersamasama dibaharui. Kalau hanya salah satu timbul kesulitan dalam pelaksanaannya, dan tujuan dari pembaharuan itu tidak akan tercapai sepenuhnya. Adapun tujuan utama dari pembaharuan itu ialah penanggulangan kejahatan. Ketiga bidang hukum itu erat sekali hubungannya.
Oleh karena itu menurut Barda Nawawi Arief
Dengan direncanakannya pembaharuan hukum pidana material, yaitu dengan telah disiapkannya konsep KUHP Baru, perlu kiranya dilakukan pengkajian seberapa jauh beberapa aspek baru tersebut menimbulkan permasalahan dilihat dari sudut hukum acara pidana. Seberapa jauh pula konsep KUHP baru dalam konsep tersebut memerlukan dukungan aturan-aturan bari dibidang hukum acara pidana, atau sebaliknya seberapa jauh hukum acara
pidana yang saat ini berlaku (khususnya yang terdapat didalam KUHAP) memerlukan peninjauan dan penyesuaian kembali dengan ketentuanketentuan yang terdapat di dalam konsep KUHP Baru tersebut.
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa pembaharuan hukum pidana diartikan sebagai suatu usaha atau cara untuk menggantikan hukum pidana yang ada dengan hukum pidana yang lebih baik, yang sesuai dengan keadilan dan perkembangan masyarakat. Ini berarti bahwa pembaharuan hukum pidana tidak dapat dilepaskan dari politik hukum pidana sebagai bagian dari politik hukum, yang mengandung arti bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan perundang-undangan pidana yang baik.
Timbulnya keadaan yang menuntut usaha untuk menciptakan hukum pidana yang sebaik-baiknya atau melakukan pembaharuan hukum pidana, tentunya karena hukum pidana yang ada sekarang dianggap belum baik dan tidak sesuai lagi dengan keadaan dan kebutuhan masyarakat sekarang. Timbulnya keadaan yang demikian itu tidak lain karena adanya perkembangan masyarakat, baik nasional, regional maupun global dan perkembangan hukum pidana itu sendiri (dalam arti luas yang menyangkut perkembangan teori-teori, ide-ide dan asas-asas serta perkembangan hukum pidana Negara lain). Sehubungan dengan perkembangan masyarakat internasional, Muladi menyatakan bahwa perkambangan internasional ini pada hakikatnya mencakup perkembangan dalam berbagai aspek ilmu pengetahuan modern tentang kejahatan (modern criminal science), kriminologi maupun dalam bidang politik hukum pidana.










BAB III
PEMBAHASAN

A. Pengertian Politik Hukum Pidana dan Pelaksanaan Politik Hukum Pidana
Ada baiknya sebelum kita lebih jauh membahas mengenai pengertian Pelaksanaan Politik Hukum Pidana, kita terlebih dahulu mengetahui tentang pengertian apa itu Politik Hukum Pidana. Istilah “Politik Hukum Pidana” dalam tulisan ini diambil dari istilah Policy (Inggris) atau Politiek (Belanda). Oleh karena itu, maka istilah “Politik Hukum Pidana” dapat pula disebut dengan istilah “Kebijaksanaan Hukum Pidana”. Dalam kepustakaan asing, istilah politik hukum pidana ini sering dikenal dengan  berbagai istilah, antara lain penal politik, criminal policy atau strafrechtspolitiek.
Pengertian Politik Hukum Pidana menurut para ahli, diantaranya adalah :
a.Menurut Marcx Ancel, Penal Policy adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan.
b. Menurut A. Mulder,   Strafrechtspolitiek ialah garis kebijakan untuk menentukan :
1) Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu dirubah atau  diperbaharui.
2)   Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana.
3) Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana harus       dilaksanakan.
c.Menurut Soerjono Soekanto, Politik hukum pidana pada dasarnya mencakup tindakan  memilih nilai-nilai dan menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kenyataannya. Politik untuk mencegah terjadinya delinkuensi dan kejahatan : dengan kata lain, maka politik hukum pidana merupakan upaya untuk secara rasional mengorganisasikan reaksireaksi sosial rasional mengorganisasikan reaksi-reaksi sosial terhadap delinkuensi dan kejahatan.
Disamping beberapa pengertian yang telah dikemukakan di atas, pengertian politik hukum pidana dapat pula dikemukakan berdasarkan pengertian politik kriminal. Politik kriminal (criminal policy) adalah usaha rasional untuk menanggulangi kejahatan. Politik hukum pidana mengejawantah dalam bentuk Penal (hukum pidana) dan Nonpenal (tanpa hukum pidana). Dengan demikian, sebagai bagian dari politik kriminal, politik hukum pidana dapat diartikan sebagai “suatu usaha yang rasional untuk menanggulangi kejahatan dengan menggunakan hukum pidana”. Bertolak dari beberapa uraian mengenai pengertian politik hukum pidana yang dikemukakan diatas, maka secara umum dapat dinyatakan, bahwa politik hukum pidana adalah : “suatu usaha untuk menanggulangi kejahatan melalui penegakan hukum pidana yang rasional, yaitu memenuhi rasa keadilan dan daya guna.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang disusun oleh Tim Penyusun Kamus, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa yang ditertibkan oleh Balai Pustaka Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Cetakan ke-3 tahun 1990. “Pelaksanaan adalah proses atau cara perbuatan melaksanakan”. Menurut Sudarto  “Melaksanakan Politik hukum pidana berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna”. Dalam kesempatan lain beliau menyatakan “Bahwa melaksanakan politik hukum pidana berarti usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa yang akan datang”. Dengan demikian pelaksanaan politik hukum pidana dapat diartikan sebagai proses atau cara mewujudkan peraturan perundangundangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi saat ini dan masa yang akan datang dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Adapun proses atau cara mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana tersebut dalam kenyataan, mencakup tiga tahap, yaitu tahap formulasi, tahap aplikasi dan tahap eksekusi yang melibatkan tiga komponen atau faktor yang terkait dalam penegakan hukum, yaitu komponen kultur atau nilai hukum, komponen struktur hukum dan komponen substansi hukum.

B. Pendekatan Dalam Pelaksanaan Politik Hukum Pidana Guna Penanggulangan Kejahatan
1. Pendekatan Integral Antara Kebijaksanaan Penal dan Nonpenal
Usaha-usaha yang rasional untuk mengendalikan atau menanggulangi kejahatan (politik  kriminal) sudah barang tentu tidak hanya dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana), tetapi juga dapat menggunakan sarana nonpenal. Usaha-usaha nonpenal ini misalnya penyantunan dan pendidikan sosial dalam rangka pengembangan tanggung jawab sosial warga masyarakat; penggarapan kesehatan jiwa masyarakat melalui pendidikan moral, agama dan sebagainya; peningkatan usaha-usaha kesejahteraan anak dan remaja; kegiatan patroli dan pengawasan lainnya secara terus-menerus oleh polisi dan aparat keamanan lainnya. Usaha-usaha ini dapat meliputi bidang yang sangat luas sekali mencakup seluruh sektor kehidupan nasional. Tujuan uatama usaha nonpenal tersebut adalah memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu, namun secara tidak langsung mempunyai pengaruh preventif terhadap kejahatan. Dengan demikian dilihat dari sudut politik kriminal, keseluruhan kegiatan preventif yang nonpenal itu sebenarnya mempunyai kedudukan yang sangat strategis, memegang posisi kunci yang harus diefektifan dan diitensifkan. Kegagalan dalam menggarap posisi strategis ini justru akan berakibat sangat fatal bagi usaha penanggulangan kejahatan. Oleh karena itu, suatu politik kriminal harus dapat mengintegrasikan dan mengharmonisasikan seluruh kegiatan negara yang teratur dan terpadu. Dengan demikian masalah utamanya adalah mengintegrasikan dan mengharmonisasikan kegiatan atau politik nonpenal dan penal itu kearah pengurangan faktor-faktor potensial yang menumbuh suburkan kejahatan. Dengan pendekatan politik yang integral inilah diharapkan social defence planning benar-benar dapat berhasil dan dengan demikian diharapkan pula tercapai hakikat tujuan politik sosial yang tertuang dalam rencana pembangunan nasional, yaitu kualitas lingkungan hidup yang sehat dan bermakna.
2. Pendekatan Kebijakan dan Pendekatan Nilai
Tiga masalah sentral dalam politik kriminal dengan menggunakan sarana hukum pidana (politik hukum pidana), yaitu masalah penentuan:
a. Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana;
b. Siapa yang dapat dimintai pertanggung jawaban pidana; dan
c. Sanksi apa yang sebaiknya dikenakan kepada si pelanggar.
Penganalisaan terhadap ketiga masalah sentral diatas tidak dapat dilepaskan dari konsepsi, bahwa politik kriminal merupakan bagian integral dari politik sosial. Ini berarti bahwa pemecahan masalah-masalah tersebut diatas harus pula diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dari politik sosial yang telah ditetapkan. Dngan demikian politik hukum pidana (termasuk pula dalam menangani tiga masalah sentral di atas) harus pula dilakukan dengan pendekatan yang berorientasikan pada kebijakan (policy oriented approach). Berdasarkan pada pendekatan yang berorientasi pada politik sosial inilah kiranya Sudarto berpendapat, bahwa dalam mengatasi masalah sentral di atas yang sering disebut masalah kriminalisasi, harus diperhatikan hal-hal yang pada intinya sebagai berikut:
a. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata material dan spiritual berdasarkan Pancasila. Sehubungan dengan itu, maka penggunaan hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan pengangguran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat.
b. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah dan ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu perbuatan yang mendatangkan ketugian baik material maupun spiritual atas warganya.
c. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan kelampauan beban tugas (overbelasting).
Selanjutnya dikemukakan bahwa problem dari pendekatan yang berorientasi pada kebijakan adalah kecenderungan untuk menjadi pragmatis dan kuantitatif serta tidak memberi kemungkinan untuk masuknya faktor-faktor yang subyektif, misalnya nilai-nilai kedalam proses pembuatan keputusan. Namun demikian pendekatan yang berorientasi pada kebijakan ini, menurut Bassiouni seharusnya dipertimbangkan sebagai salah satu scientific device dan digunakan sebagai alternatif dari pendekatan yang secara emosional diorientasikan pada pertimbangan nilai (the emotionally laden calue judgment approach) yang kebanyakan diikuti oleh badan-badan legislatif. Dikemukakan pula bahwa perkembangan a policy oriented approach ini lamban datangnya karena proses legislatif belum siap untuk pendekatan yang demikian. Masalahnya antara lain terletak pada sumber-sumber keuangan untuk melakukan orientasi ilmiah itu. Kelembagaan seperti yang dikemukakan di atas ditambah dengan proses kriminalitas yang berlangsung terus tanpa didasarkan pada penilaianpenilaian yang teruji dan tanpa didasarkan pada penilaian-penilaian yang teruji dan tanpa suatu evaluasi mengenai  pengaruhnya terhadap keseluruhan sistem, menurut Bassiouni 55 mengakibatkan timbulnya dua hal:
a. Krisis kelebihan kriminalitas (the crisis of evercriminalization);
b. Krisis kelampauan batas dari pidana (the cirisis of overreach of the
    criminal law)
Krisis yang pertama menyangkut mengenai banyaknya atau melimpahnya jumlah kejahatan dan perbuatan-perbuatan yang dikriminalisasikan, sedangkan yang kedua mengenai usaha mengendalikan kejahatan dengan tidak menggunakan sanksi pidana yang efektif. Pendekatan kebijakan seperti dikemukakan di atas jelas merupakan upaya yang rasional, karena karekteristik dari suatu politik kriminal yang rasional tidak lain dari penerapan metode-metode yang rasional. Menurut G.P. Hoefnagel56 suatu politik kriminal harus rasional, kalau tidak demikian tidak sesuai dengan definisi sebagai a rational total of the responses to crime.
Disamping itu, hal ini penting karena konsepsi mengenai kejahatan dan kekuasaan atau proses untuk melakukan kriminalisasi sering ditetapkan secara rasional. Pendekatan yang rasional memang merupakan pendekatan yang seharusnya melekat pada setiap langkah kebijakan. Hal ini merupakan konsekuensi logis, karena seperti dikatakan oleh Soedarto bahwa dalam melaksanakan pemilihan dari sekian banyak alternatif yang dihadapi. Ini berarti bahwa suatu politik kriminal dengan menggunakan hukum pidana harus merupakan suatu usaha atau langkah-langkah yang dibuat dengan sengaja dan sadar. Dengan demikian, memilih dan menetapkan hukum pidana sebagai sarana untuk melakukan penanggulangan kejahatan harus benar-benar telah mempertimbangkan semua faktor yang dapat mendukung berfungsinya atau bekerjanya hukum pidana dalam kenyataan. Jadi diperlukan pula pendekatan yang fungsional yang merupakan pendekatan yang melekat (inherent) pada setiap kebijakan yang rasional.
Keputusan Seminar Kriminologi ke-3 tahun 1976 di Semarang, menetapkan, bahwa hukum pidana hendaknya dipertahankan sebagai salah satu alat untuk social defence dalam arti melindungi masyarakat terhadap kejahatan dengan memperbaiki atau memulihkan kembali (rehabilitate) si pembuat tanpa mengurangi keseimbangan kepentingan perorangan (pembuat) dan masyarakat (Keputusan, III.b.).
Pemilihan pada konsepsi perlindungan masyarakat inipun membawa konsekuensi pada pendekatan yang rasional, seperti dikemukakan oleh J. Andenaes sebagai berikut :
Apabila orang mendasarkan hukum pidana pada konsepsi perlindungan masyarakat, maka tugas selanjutnya adalah mengembangkannya serasional mungkin. Hasil maksimal harus dicapai dengan biaya yang minimal bagi masyarakat dan minimal penderitaan bagi individu. Dalam hal demikian orang harus mengendalikan pada hasil penelitian ilmiah mengenai sebabsebab kejahatan dan efektifitas dari bermacam-macam sanksi (if one bases the penal law on the concept of social defence, the task will then be to develop it as rationally as possible. The maximum results must be achieved with the minimum of expense to society and the minimum of suffering for the individual. In this task, one must build upon the results of scientific research into the causes of crime and the effectiviness of the various forms of sanction).
Dari pendapat J. Andenaes di atas, jelas terlihat bahwa pendekatan kebijakan yang rasional berkaitan erat pula dengan pendekatan ekonomis dalam penggunaan hukum pidana. Pendekatan ekonomis di sini tidak hanya dimaksudkan untuk mempertimbangkan antara biaya atau beban yang ditanggung masyarakat (dengan dibuat/digunakannya hukum pidana) dengan hasil yang ingin dicapai, tetapi juga dalam arti mempertimbangkan efektifitas hukum pidana itu sendiri.
Menurut Bassiouni, tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh hukum pidana pada umumnya terwujudnya dalam kepentingan-kepentingan sosial yang mengandung nilai-nilai tertentu yang dilindungi. Kepentingan-kepentingan sosial tersebut sebagai berikut :
a. Pemeliharaan tertib masyarakat;
b. Perlindungan warga masyarakt dari kejahatan, kerugian atau bahayabahaya yang dapat  dibenarkan yang dilakukan oleh orang lain;
c. Memasyarakatan kembali (resosialisasi) para pelanggar hukum;
d.Memelihara atau mempertahankan integritas pandangan-pandangan dasar tertentu mengenai keadilan sosial, martabat kemanusiaan dan keadilan individu.
Selanjutnya ditegaskan, bahwa sanksi pidana harus disepadankan dengan kebutuhan untuk melindungi dan mempertahankan kepentingan-kepentingan ini. pidana hanya dibenarkan apabila ada suatu kebutuhan yang berguna bagi masyarakat. Suatu pidana yang tidak diperlukan, tidak dapat dibenarkan dan berbahaya bagi masyarakat. Berdasarkan pandangan yang demikian, Bassiouni menyatakan, bahwa disiplin hukum pidana bukan hanya pragmatis, tetapi juga disiplin yang berdasar dan berorientasi pada nilai (not only pragmatic but also value based and value oriented) Dengan demikian dapat dinyatakan, bahwa dalam melaksanakan politik pada hukum pidana diperlukan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan yang lebih bersifat pragmatis dan juga pendekatan yang berorientasi pada nilai.
Menurut Muladi dan barda Nawawi Arief  antara pendekatan kebijakan dan pendekatan yang berorientasi pada nilai jangan terlalu dilihat sebagai suatu dichotomy, karena dalam pendekatan kebijakan sudah seharusnya juga dipertimbangkan faktor-faktor nilai. Sebab, kebijakan kriminal tidak dapat dilepaskan sama sekali dari masalah nilai. Terlebih lagi bagi Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang bertujuan membentuk “manusia Indonesia seutuhnya”. Apabila hukum pidana dan pidana akan digunakan sebagai sarana untuk mencapai tujuan tersebut, maka pendekatan humanis harus pula diperhatikan. Hal ini penting, tidak hanya karena kejahatan itu pada hakikatnya merupakan masalah kemanusiaan (human problem), tetapi juga karena hakikatnya pidana itu sendiri mengandung unsur penderitaan yang dapat menyerang kepentingan atau nilai yang paling berharga bagi manusia.
Pendekatan humanis dalam penggunaan sanksi pidana tidak hanya berarti bahwa pidana yang dikenakan kepada si pelanggar harus sesuai dengan nilainilai kemanusiaan yang beradab, tetapi juga harus dapat membangkitkan kesadaran si pelanggar akan nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai pergaulan hidup bermasyarakat. Sehubungan dengan hal terakhir ini, patut kiranya dikemukakan konsepsi kebijakan pidana dari aliran social defence (The Penal Policy of Social Defence) menurut Marc Ancel yang bertolak dari konsepsi pertanggung jawaban yang bersifat “perlindungan masyarakat” atau social defence yang dikaitkan dengan masalah rehabilitasi dan resosialisasi sudah sering digunakan di Indonesia, seperti yang terlihat (misalnya) dalam Seminar Kriminologi ke-3 tahun 1976 dan Simposium Pembaharuan Hukum Pidana Nasional pada tahun 1980 di Semarang. Menurut marc Ancel, pertanggung jawaban yang didasarkan pada kebebasan individu merupakan kekuatan penggerak yang utama dari proses penyesuaian sosial (the main driving force of the process of social readaptation). Diakui olehnya, bahwa masalah determinisme dan indeterminisme merupakan problem filosofis yang berada diluar ruang lingkup politik hukum pidana dan pidana, akan tetapi ditegaskan, bahwa politik hukum pidana yang modern hampir selalu mensyaratkan adanya kebebasan individu.
Tujuan utama dari setiap perlakuan readaptasi sosial harus diarahkan pada perbaikan pengusaan diri sendiri. Oleh karena itu, masalah pertanggung jawaban seharusnya tidak boleh diabaikan, melainkan justru harus diperkenalkan kembali sebagai suatu pertanggung jawaban pribadi. Reaksi terhadap perbuatan anti sosial justru harus dipusatkan pada konsepsi pertanggungjawaban pribadi ini. Pertanggungjawaban yang dimaksud (oleh Marc Ancel) berlainan dengan pandangan klasik yang mengartikannya sebagai “pertanggungjawaban moral secara murni” (the purely moral responsibility) dan berbeda pula dengan pandangan positivist yang mengartikannya sebagai “pertanggungjawaban menurut hukum atau pertanggungjawaban obyektif” (legal ar objective vieus of responsibility) menurut marc Ancel menekankan pada perasaan kewajiban moral pada diri sendiri (individu) dan oleh karena itu mencoba untuk merangsang ide tanggung jawab / kewajiban sosial terhadap anggota masyarakat yang lain dan juga mendorongnyta untuk menyadari moralitas sosial. Pengertian yang demikian merupakan konsekuensi dari pandangan marc Ancel yang melihat kejahatan sebagai gejala kemanusiaan, yaitu kejahatan merupakan suatu manifestasi dari kepribadian si pelaku60 Lebih lanjut dikemukakan, bahwa perlu kiranya pendekatan sebagai a personal disease atau a human or invidually phatological phenomenon diseimbangkan dengan pendekatan humanis yang bertolak dari konsepsi kejahatan sebagai a socially phatologycal phenomenon.
Penggunaan sarana penal atau (hukum) pidana dalam suatu politik criminal memang bukan merupakan posisi strategis dan memang banyak menimbulkan persoalan. Sebaliknya bukan pula suatu langkah kebijakan yang dapat disederhanakan dengan mengambil sikap ekstrim untuk menghapuskan saja hukum pidana dan pidana sama sekali. Persoalannya tidak terletak pada masalah eksistensinya. Tetapi terletak pada masalah kebijakan penggunaannya. Oleh karena itu, sebagai suatu masalah kebijaksan/politik, sudah barang tentu penggunaannyapun tidak dilakukan seara absolut, karena pada hakikatnya tidak ada absolutisme dalam bidang kebijakan/politik.
C. Tahap Pelaksanaan Politik Hukum Pidana
Upaya penanggulangannya kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian dari upaya penegakan hukum. Oleh karena itu sering pula dikatakan, bahwa politik atau kebijakan hukum pidana merupakan bagian pula dari politik atau kebijakan penegakan hukum. Telah dikemukakan sebelumnya, bahwa dilihat sebagai suatu proses kebijakan, pelaksanaan politik hukum pidana pada hakikatnya merupakan penegakan kebijakan melalui beberapa tahap :
a.Tahap formulasi, yaitu tahap penegakan/pelaksanaan politik hukum pidana inabstracto oleh badan pembuat undang-undang. Tahap ini sering pula disebut tahap kebijakan legislatif.
b.Tahap aplikasi, yaitu tahap penerapan politik hukum pidana oleh para penegak hukum, mulai dari kepolisian sampai dengan pengadilan. Tahap kadua ini sering pula disebut tahap kebijakan yudikatif.
c.Tahap aksekusi, yaitu tahap pelaksanaan politik hukum pidana secara konkret oleh aparat pelaksana pidana. Tahap ini sering pula disebut tahap kebijakan aksekutif atau administrasi.
Ketiga tahap tersebut dilihat sebagai suatu usaha atau proses rasional yang sengaja direncanakan untuk mencapai tujuan tertentu, jelas harus merupakan suatu jalinan mata rantai aktivitas yang merupakan perwujudan dari kebijakan nasional. Jadi tegasnya, kebijakan (pembangunan) nasional harus diusahakan terwujudnya pada ketiga tahap pelaksanaan politik hukum pidana itu. Inilah makna dan konsekuensi dari pernyataan bahwa politik hukum pidana merupakan bagian integral dari politik sosial seperti diuraikan di muka. Jadi tersimpul di dalamnya pengertian social engineering by “kemampuan yang lebih” atau “kemampuan plus” dari setiap aparat penegak hukum pidana, yaitu tidak hanya kemampuan di bidang yuridis, tetapi juga kesadaran, pengetahuanb dan kemampuanyang memadai di bidang pembangunan, sulit diharapkan berhasilnya “pembagunan masyarakat dengan hukum pidana”. Disamping itu, karena pambangunan mengandung berbagai dimensi (multi dimensi), maka juga peningkatan berbagai pengetahuan (multi disiplin).
Selain yang telah dikemukakan diatas, agar politik hukum pidana dapat menunjang progrm-program pembangunan, maka patut diperhatikan Guiding Principle yang dikemukakan oleh Kongres PBB ke-7, antara lain berbunyi : “Bahwa perlu dilakukan studi dan penelitian mengenai hubungan timbal balik antara kejahatan dengan beberapa aspek tertentu dari pembangunan”. Ditegaskan dalam Guiding Principle tersebut. “Bahwa studi itu sejauh mungkin dilakukan dari perspektif interdisipliner dan ditujukan untuk perumusan kebijakan dan tindakan praktis”. Studi demikian dimaksudkan untuk meningkatkan sifat responsif dari kebijakan pencegahan kejahatan dan peradilan pidana dalam rangka merubah kondisi-kondisi sosial, ekonomi, budaya dan politik. Dengan demikian, pengatahuan yang memadai dari pada penegak hukum mengenai beberapa aspek dari pembangunan dan hubungan timbal baliknya dengan kejahatan, tidak hanya penting dalam merumuskan politik hukum pidana pada tahap formulasi, tetapi juga pada tahap aplikasi yang lebih bersifat operasional. Dalam hubungan dengan tahap aplikasi, sangat diharapkan pehatian para penegak hukum terhadap Guiding Principle dari kongres PBB ke-7 yang menyatakan : “Kebijakan pencegahan kejahatan dan peradilan pidana harus memperhitungkan sebab-sebab sosio ekonomi” (Policies for crime prevention and criminal justice should take into account the structural including socio economic causes of injustice). Ini berarti pengetahuan yang memadai dari penegak hukum mengenai sebab-sebab ketidakadilan atau ketimpangan (termasuk sebab-sebab terjadinya kejahatan) yang bersifat struktural sebagai dampak dari kebijakan pembangunan, dapat dipertimbangkan sebagai salah satu faktor untuk menyertakan suatu perbuatan secara material tidak melawan hukum dan atau sebagai suatu alasan memperingan pemidanaan.






BAB IV
PENUTUP

A. Simpulan
Pengertian politik hukum pidana adalah salah satu bentuk dari politik krimininal yang menggunakan jalur hukum pidana. Oleh karena itu dapatlah diartikan bahwa politik hukum pidana adalah upaya penanggulangan kejahatan secara rasional oleh masyarakat dan Negara yang dilakukan dengan menggunakan hukum pidana. Hal ini dilakukan dengan melakukan re-evaluasi, reorientasi dan reformasi peraturan hukum pidana positip baik yang berupa kodifikasi maupun peraturan hukum pidana yang tersebar di luar KUHP. Dalam hal ini maka kegiatankegiatan depenalisasi, dekriminalisasi dan kriminalisasi merupakan hal yang sangat penting dalam politik hukum pidana. Selanjutnya Bahwa pelaksanaan politik hukum pidana berarti usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa yang akan datang.
Pendekatan yang dilakukan oleh politik hukum pidana dalam rangka penanggulangan kejahatan melalui :
1. Pendekatan Integral antara kebijaksanaan penal dan non penal.
Usaha yang rasional untuk mengendalikan atau menanggulangi kejahatan ( politik criminal ) sudah barang tentu tidak hanya menggunakan sarana penal saja ( hukum pidana ) tetapi dapat juga menggunakan sarana non penal dengan cara penyantunan dan pendidikan sosial dalam rangka pengembangan tanggung jawab sosial warga masyarakat. Tujuan utama dari sarana non penal ini adalah untuk memperbaiki kondisi – kondisi sosial masyarakat.
2.   Pendekatan Kebijakan dan Pendekatan Nilai
sanksi pidana harus disepadankan dengan kebutuhan untuk melindungi dan mempertahankan kepentingan-kepentingan ini. pidana hanya dibenarkan apabila ada suatu kebutuhan yang berguna bagi masyarakat. Suatu pidana yang tidak diperlukan, tidak dapat dibenarkan dan berbahaya bagi masyarakat. Berdasarkan pandangan yang demikian, Bassiouni menyatakan, bahwa disiplin hukum pidana bukan hanya pragmatis, tetapi juga disiplin yang berdasar dan berorientasi pada nilai (not only pragmatic but also value based and value oriented) 58 Dengan demikian dapat dinyatakan, bahwa dalam melaksanakan politik pada hukum pidana diperlukan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan yang lebih bersifat pragmatis dan juga pendekatan yang berorientasi pada nilai. antara pendekatan kebijakan dan pendekatan yang berorientasi pada nilai jangan terlalu dilihat sebagai suatu dichotomy, karena dalam pendekatan kebijakan sudah seharusnya juga dipertimbangkan faktor-faktor nilai. Sebab, kebijakan kriminal tidak dapat dilepaskan sama sekali dari masalah nilai.
Ada pun ketiga tahap dalam pelaksanaan politik hukum pidana adalah :
a.Tahap formulasi, yaitu tahap penegakan/pelaksanaan politik hukum pidana inabstracto oleh badan pembuat undang-undang. Tahap ini sering pula disebut tahap kebijakan legislatif.
b.Tahap aplikasi, yaitu tahap penerapan politik hukum pidana oleh para penegak hukum, mulai dari kepolisian sampai dengan pengadilan. Tahap kadua ini sering pula disebut tahap kebijakan yudikatif.
c.Tahap aksekusi, yaitu tahap pelaksanaan politik hukum pidana secara konkret oleh aparat pelaksana pidana. Tahap ini sering pula disebut tahap kebijakan aksekutif atau administrasi.

Senin, 17 Oktober 2011

Contoh Jawaban dalam Acara Perdata

                                                                               Kepada
                                                                               Yth. Ketua Majelis Hakim dalam Perkara Perdata 
                                                                                No.334/Pdt/G/2009/PN.Bdg
                                                                                di Bandung

Hal      :  Jawaban
Dengan Hormat.
            Jerri, SH. & ASS, PENGACARA DAN KONSULTAN HUKUM, berkantor di Jl. Cihampelas No.8 Bandung
Dalam hal ini selaku kuasa Tergugat dalam perkara No.334/Pdt/2009/PN.Bdg di Pengadilan Negeri Kelas I Badung, dalam hal ini membuat dan menandatangani jawaban sebagai berikut :

DALAM EKSEPSI

1.      Surat Kuasa Penggugat bukan Surat Kuasa Khusus (Istimewa) dan Tidak Sempurna
Bahwa dalam Surat Kuasa Khusus tertanggal 20 Juli 2009 berisi :
KHUSUS
Atas nama dan untuk kepentingan Pemberi Kuasa :
MEMBERIKAN BANTUAN HUKUM, mengurus dan menyelesaikan permasalahan perbuatan merugikan Penggugat.
Alasan Hukumnya.
Bahwa yang dimaksud dengan Surat Kuasa Khusus adalah Surat Kuasa yang diharuskan dipakai dalam persidangan di Pengadilan Negeri, sebagaimana dikehendaki oleh Undang-Undang yaitu Pasal 123 ayat 1 HIR yang oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam prakteknya telah memberikan petunjuk dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Ã¼  Indonesia No.2 Tahun 1959 tertanggal 19 Januari 1959 yang berbunyi sebagai berikut :
“Pasal 123 ayat 1 HIT,”Kedua belah pihak kalau mau boleh dibantu atau diwakili oleh juru kuasa, maka maksud itu dikuasakan dengan surat kuasa istimewa ………….. dst”
ü  Bahwa apabila diteliti secara cermat Surat Kuasa Penggugat termaksud tidak mencantumkan secara rinci Pengadilan negerimana gugatan tersebut harus diajukan.
2.      Bahwa penunjukkan pemberian Kuasa tidak dicantumkan dengan jelas dan tepat dalam Surat Kuasa tersebut.
Alasan Hukumnya.
ü  Bahwa dalam Surat Gugatan yang tercatat dalam register perkara No. 334/Pdt/G/2009/PN.Bdg, Penggugat menyebutkan kapasitasnya sebagai pribadi pemilik tanah dan bangunan tersebut, sedang yang dilakukan tergugat adalah melakukan kontrak perjanjian sewa dengan orant tua kandung Penggugat.

 

DALAM POKOK PERKARA

1.      Bahwa tergugat dengan tegas menolak seluruh dalil gugatan Penggugat kecuali yang diakui secara tegas oleh Tergugat.
2.      Bahwa benar Tergugat benar telah menguasai sebidang tanah berikur bangunan di tempat yang dikenal beralamat Jl.Mekarsari 23 Soreang, dan pengasaan tersebut atas sebuah perjanjian Sewa yang dilakukan dengan Orang Tua dari Tn. Abdul.
3.      Bahwa benar penguasaan tersebut telah berlangsung sejak tahun 1998 sampai dengan sekarang.
4.      Tidak benar dan tidak beralasan hukum sama sekali dalil gugatan Penggugat Poin 2 dalam posita gugatan.
Alasan Hukumnya.
ü  Bahwa sesuai dengan Surat dari Penggugat tertanggal 22 Juli 2009, Bahwa Tergugat melakukan Kontrak Perjanjian Sewa sebuah bidang tanah beserta rumah yang di kenal ebralamat Jl.Mekarsari 23 Soreang dengan Orag Tua Tuan Abdul dengan Pembayaran dilakukan dengan mentransfer uang ke Rekeneing Bank bjb Cabang Dayeuh Kolot atas nama Orang Tua Tuan Abdul.
ü  Bahwa selama status Tn.Andi sebagai penyewa telah banyak melakukan renovasi rumah dengan biaya yang tidak sedikit.
ü  Bahwa dengan demikian gugatan Penggugat poin 2 dalam posita gugatan harus ditolak atau beralasan atau dinyatakan setidak-tidaknya tidak dapat diterima.
5.      Tidak tepat dan tidak beralasan hukum sama sekali dalil gugatan Penggugat Poin 4 dalam posita gugatan.
Alasan Hukumnya.
ü  Bahwa dengan demikian gugatan Penggugat poin 4 dalam posita gugatan harus ditolak atau beralasan atau dinyatakan setidak-tidaknya tidak dapat diterima.
6.      Bahwa tidak ada kerugian yang dialami oleh Penggugat dengan nilai transaksi sebesar 500.000.000.- (lima ratus juta rupiah) sebagaimana yang disebutkan.
Bahwa berdasarkan dalil-dalil yang telah diuraikan diatas, maka mohon kiranya Majelis Hakim berkenan mempertimbangkan serta selanjutnya memutuskan : 

DALAM EKSEPSI

ü  Menerima seluruhnya dalil-dalil eksepsi Tergugat.
ü  Menerima seluruhnya eksepsi Tergugat.

DALAM POKOK PERKARA

ü  Menerima seluruhnya dalil-dalil jawaban Tergugat.
ü  Menolak gugatan Penggugat seluruhnya.


 Bandung, 16 Agustus 2009
   Hormat kami     , 
                                                                                                                                          

   JERRI, SH    

 
 

Sejarah HAM


SEJARAH LAHIRNYA HAK ASASI MANUSIAN

Ham menurut UU No.39 tahun 1999 adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dari keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrahnya yang wajib dihormati,dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara,hukum dan pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan.
1.  Hak Asasi Manusia Di Yunani
Filosof yunani seperti Socrates (470-399 sm) dan Plato (428-348SM) meletakan dasar bagi perlindungan dan jaminan diakuinya hak-hak manusia.Konsepsinya menganjurkan masyarakat untuk melakukan sosial kontrol kepada penguasa yang lazim dan tidak mengakui nilai-nilai keadilan dan kebenaran.Aris toteles (348-322SM) mengajarkan pemerintah harus mendasarkan kekuasaannya pada kemauan dan kehendak warga negarannya.

2.   Hak asasi Manusia di Inggris
Inggris disebut juga negara pertama di dunia yang memperjuangkan HAM,terbukti dengan ditemukannya dokumen kenegaraan yang berhasil disusun dan disahkan.Dokumen-dokumen tersebut sbb:
Ø  MAGNA CHARTA
Pada awal abad ke XII raja Richard yang dikenal adil telah diganti dengan Raja John Lackland yang bertindak sewenang-wenang kepada rakyat maupun para bangsawan,tindakan tersebut mengakibatkan rasa tidak puas dari para bagsawan,yang akhirnya berhasil membuat perjanjian dengan Raja Jhon yangdisebut Magna Charta / Piagam agung. Dicetuskan tanggal 15 Juni 1215 yang prinsip dasarnya memuat pembatasan kekuasaan raja dan hak asasi manusialebih penting dari pada kedaulatan raja.Piagam tersebut menjadi lambang munculnya perlindungan terhadap hak asasi karena mengajarkan bahwa hukum dan Undang-undang derajadnya lebih tinggi dari pada kekuasaan raja.

Isi Magna Charta adalah SBB :
·         Raja beseerta keturunanya berjanji akan menghormati kemerdekaan,hak,dan kebebasan Gereja Inggris.
·         Raja berjanji kepada penduduk kerajaan yang bebas untuk memberikan hak-hak sebagai berikut :
o   Para petugas keamanan dan pemungut pajak akan menghormati hak-hak penduduk
o   Polisi ataupun jaksa tidak dapat menuntut seseorang tanpa bukti dan saksi yang sah
o   Seorang yang bukan budak tidak akan ditahan,ditangkap dinyatakan bersalah tanpa alasan hukum sebagai dasar tindakannya
o   Apabila seseorang tanpa perlidungan hukum sudah terlanjur ditahan ,Raja berjanji akan mengoreksi kesalahannya.

Ø  PETITION OF RIGHTS
Pada dasarnta berisi pertanyaan-pertanyaan mengenai hak rakyat beserta jaminannya.Petisi ini diajukan oleh bangsawan kepada Raja di depan Parlemen pada tahun 1628.Isinya secara garis besar menuntut hak sbb:
·         Pajak dan pungutan istimewa harus disertai pungutan
·         Warga negara tidak boleh dipaksakan menerima tentara di rumahnya
·         Tentara tidak boleh menggunakan hukum perang dalam keadaan damai
Ø  HOBEAS CORPUS ACT
Adalah Undang-undang yang mengatur tentang penahanan seseorang dibuat pada tahun 1679.Isinya sebagai berikut :
·         Seseorang yang ditahan segera diperiksa dalam 2 hari setelah penahanan
·         Alasan penahanan seseorang harus disertai bukti yang sah menurut hukum

Ø  BILL OF RIGHTS
Merupaqkan undang-undang yang dicetuskan tahun 1689 dan diterima parlemen inggris ,yang isinya mengatur tentang :
·         Kebebasan dalam pemilihan anggota parlemen
·         Kebebasan berbicara dan mengeluarkan pendapat
·         Pajak,undan-undang dan pembentukan tentara tetap harus seijin parlemen
·         Hak warga negara untuk memeluk agama menurut kepercayaan masing-masing
·         Parlemen berhak mengubah keputusan raja

3.   Hak Asasi manusia Di Amerika Serikat
Pemikiran jhon locke (1632-1704) yang merumuskan hak-hak alam,seperti hak atas hidup,kebebasan,dan milik (life,liberty,and property) mengilhami sekaligus menjadi pegangan bagi rakyat amerika sewaktu memberontak melawan penguasa inggris pada tahun 1776.Pemikiran jhon locke ini terlihat jelas dalam Deklarasi kemerdekaan Amerika serikat yang dikenal dengan DECLARATION OF  INDEPENDENCE OF UNITED STATES.
Revolusi Amerika dengan Declaration of independence tanggal 4 juli 1776 suatu deklarasi kemerdekaan yang diumumkann secara aklamasi oleh 13 Ne3garaq bagian merupakan pula piagam hak asasi manusia karena mengandung pernyataan “ Bahwa sesungguhnya semua bangsa diciptakan sama derajad oleh maha pencipta.Bahwa semua manusia dianugrahi oleh penciptanya hak hidup,kemerdekaan,dan kebebasan untuk menikmati kebahagiaan.John locke mengambarkan keadaan naturalis,ketiak manusia telah memiliki hak dasar secara perorangan.dalam keadaan bersama sama hidup lebih maju seperti yang  disebut sebagai dengan status civilis,lock berpendapat bahwa manusia yang berkedudukan sebagai warga negara hak-hak dasarnya dilindungi oleh negara.
Declaration of independence di amerika menempatkan amerika sebagai negara yang memberi perlindungan dan jaminan hak-hak asasi manusia dalam kontitusinya,kendatipun secara resmi rakyat perancis sudah lebih dulu memulainya sejak masa Rousseau.Presiden Amerika serikat yang terkenal sebagai pendekar hak asasi manusia adalah Abraham lincoln,kemudian Woodrow wilson dan Jimmy carter.
Amanat Presiden Frangklin D.Roosevelt tentang empat kebebasan yang diucapkannya di depan Kongres amerika serikat tanggal 6 Juni 1941 yakni :
·         Kebebasan untuk berbicara dan melahirkan pikiran ( freedom of speech and expression )
·         Kebebasan memilih agama sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya ( Freedom of religion )
·         Kebebasan dari rasa takut ( Freedom from fear )
·         Kebebasan dari kekurangan dan kelaparan ( Freedom from want )
Empat kebebasan ROOsevelt ini pada hakikatnya merupakan tiang penyangga hak asasi manusia  yang paling pokok dan mendasar.

4.   Hak Asasi Manusia Di Perancis
Perjuangan Hak asasi manusia di perancis dituangkan dalam suatu naskah         pada awal revolusi perancis.Perjuangan itu dilakukan untuk melawan rezim lama.naskah tersebut dikenal dengan DECLARATION DES DROITS DE L’ HOMME ET DU CITOYEN yaitu pernyataan tentang hak –hak manusia dan warga negara.Pernyataan yang dicetukan tahun 1789 ini mencanangkan Hak atas kebebasan, Kesamaan,persaudaan atau kesetiakawanan (Liberte,Egalite,Fraternite).Lafayette merupakan pelopor penegakan hak asasi manusia di masyarakat Perancis yang berada di Amerika ketika Revolusi Amerika meletus dan mengakibatkan tersusunnya DECLARATION DES DROITS DE L’ HOMME ET DU CITOYEN. Tahun 1791 semua hak hak manusi dicantumkan seluruhnya di dalam konstitusi perancis yang kemudian ditambah dan diperluas lagi tahun 1793 dan 1848 juga dalam kontitusi tahun 1793 dan 1795. Revolusi ini diprakarsai pemikir-pemikir besar seperti JJ.Rousseau,Voltaire,serta Montesquieu.
Hak asasi yang tersimpul dalam deklarasi itu antara lain:
·         Manusia dilahirkan merdeka dan tetap merdeka
·         Manusia mempunyai hak yang sama
·         Manusia merdeka berbuat sesuatu tanpa merugikan pihak lain
·         Warga negara mempunyai hak yang sama dan mempunyai kedudukan serta pekerjaan umum
·         Manusia tidak boleh dituduh dan ditangkap selain menurut undang-undang
·         Manusia mempunyai kemerdekaan agama dan kepercayaan
·         Manusia merdeka mengeluarkan pikiran
·         Adanya kemerdekaan surat kabar
·         Adanya kemerdekaan bersatu dan berapat
·         Adanya kemerdekaan berserikat dan berkumpul
·         Adanya kemerdekaan bekerja ,berdagang dan melaksanakan kerajinan
·         Adanya kemerdekaan rumah tangga
·         Adanya kemerdekaan hak milik
·         Adanya kemerdekaan lalu lintas
·         Adanya hak hidup dan mencari nafkah

5.         Sebelum Perang Dunia II
Bangkitnya sistem negara modern serta penyebaran industri dan kebudayaan Eropa ke seluruh dunia, telah berkembang serangkaian kebiasaan dan konvensi yang unik mengenai perlakuan manusiawi terhadap orang-orang asing. Konvensi itu, yang diberi nama “Hukum Internasional mengenai Tanggungjawab Negara terhadap Pelanggaran Hak-hak Orang Asing”, dapat dianggap mewakili perhatian awal yang besar terhadap promosi dan perlindungan hak asasi manusia di tingkat internasional. Para pendiri hukum internasional, khususnya Francisco de Vitoria (1486-1546), Hugo Grotius (1583-1645) dan Emmerich de Vattel (1714-1767), dari awal mereka menyadari bahwa semua orang, baik orang asing maupun bukan, berhak atas hak-hak alamiah tertentu, dan karenanya, mereka menekankan pentingnya memberi perlakuan yang pantas kepada orang-orang asing.
Abad ke-19 mulai menyingsing dengan jelas minat dan perhatian internasional terhadap perlindungan hak-hak warga negara. Perdamaian Westphalia (1648), yang mengakhiri Perang Tiga Puluh Tahun dan yang menetapkan asas persamaan hak bagi agama Katolik Roma dan Protestan di Jerman, telah membuka jalan ke arah itu.Satu setengah abad kemudian, sebelum Perang Dunia II, beberapa upaya yang patut dicatat sebagai tonggak-tonggak penting, walaupun pada pokoknya tidak berkaitan, dalam upaya menggalakkan perhatian terhadap warga negara melalui sarana hukum internasional mulai membentuk apa yang dewasa ini dinamakan “Hukum Hak Asasi Manusia Internasional”. Tonggak-tonggak penting itu antara lain, doktrin perlindungan negara terhadap orang asing, intervensi kemanusiaan, serta tonggak penting lainnya seperti akan dielaborasi lebih jauh dalam sub-sub bahasan di bawah ini:
v   Hak Asasi Manusia dan Hukum Internasional Tradisional
Hukum internasional hanya merupakan hukum yang mewadahi pengaturan tentang hubungan antara negara-negara belaka. Subyeknya, yakni hanya mencakup negara. Entitas-entitas yang lain, termasuk individu, hanya menjadi objek dari sistem itu, atau penerima manfaat (beneficiary) dari sistem tersebut. Individu, sebagai warga negara, tunduk sepenuhnya kepada kewenangan negaranya. Dalam arti ini, negara tentu dapat saja membuat ketentuan-ketentuan demi kepentingan warga negaranya (individu), namun ketentuan-ketentuan semacam itu tidak memberikan hak-hak substantif kepada individu yang dapat mereka paksakan melalui prosedur pengadilan. Negaralah yang membela hak atau kepentingan warga negaranya apabila mendapat perlakuan yang bertentangan dengan aturan atau perlakuan semenamena dari negara lainnya. Apa yang dikatakan di atas dikenal dengan doktrin “perlindungan negara terhadap orang asing” atau “state responsibility for injury to alliens”, yang dikenal dalam hukum internasional ketika itu. Berdasarkan doktrin hukum internasional itu, orang-orang asing berhak mengajukan tuntutan terhadap negara tuan rumah yang melanggar aturan. Biasanya, hal ini terjadi ketika seorang asing mengalami perlakuan sewenang-wenang di tangan aparat pemerintah, dan negara tersebut tidak mengambil tindakan apapun atas pelanggaran itu. Doktrin “perlindungan negara terhadap orang asing” tersebut, khususnya mengenai standar minimal dan kesamaan perlakuan, kemudian diambil alih oleh perkembangan-perkembangan dalam hukum hak asasi manusia internasional. Meskipun tujuan utama klaim negara semacam itu bukanlah untuk mendapatkan kompensasi bagi warga negaranya yang dirugikan, melainkan untuk membela hak-hak negara itu sendiri --yang secara tidak langsung telah dilanggar melalui perlakuan yang buruk terhadap warga negaranya.
v  Intervensi Kemanusiaan
Begitulah posisi individu dalam hukum internasional tradisional, yang sering ditandai menurut kebangsaannya. Berdasarkan dalil itu, negara-negara lain tidak mempunyai hak yang sah untuk melakukan intervensi dengan alasan melindungi warga negaranya, seandainya mereka diperlakukan dengan semena-mena. Suatu kekecualian terhadap dalil ini adalah apa yang disebut dengan doktrin “intervensi kemanusiaan”, yang memberikan hak yang sah untuk melakukan intervensi. Berdasarkan “hak” ini, negara dapat mengintervensi secara militer untuk melindungi penduduk atau sebagian penduduknya yang berada dalam suatu negara lain jika penguasa negara tersebut memperlakukan mereka sedemikian rupa sehingga “melanggar hak asasi mereka dan menggoncangkan hati nurani umat manusia.” Doktrin ini dipopulerkan oleh Hugo Grotius. Tetapi banyak yang meragukan apakah hak semacam ini benar-benar ada, yang jelas doktrin ini sering disalahgunakan oleh negara-negara kuat yang berusaha memperbesar pengaruh politik mereka. Sejumlah negara besar pada abad ke-19 memakai hak intervensi kemanusiaan yang diklaim itu, antara lain, untuk mencegah Kekaisaran Ottoman memusnahkan kaum minoritas di Timur Tengah dan di wilayah Balkan.


v  Penghapusan Perbudakan

Hal yang di bahas  di atas menggambarkan bahwa sebetulnya telah terjadi perkembangan kemanusiaan pada hukum internasional sepanjang abad ke-19 dan awal abad ke-20. Hal yang paling menonjol di antaranya adalah penghapusan perbudakan. Meskipun ekonomi perbudakan pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 secara komersial telah menjadi kurang menarik bagi negara-negara Eropa dibandingkan masa sebelumnya, gerakan penghapusan perbudakan itu juga dilandasi oleh motif kepedulian kemanusiaan yang besar. Praktek perbudakan mula-mula dikutuk dalam Traktat Perdamaian Paris (1814) antara Inggris dan Perancis, namum selang 50 tahun kemudian, Akta Umum Konferensi Berlin yang mengatur kolonisasi Eropa di Afrika menyatakan bahwa “perdagangan budak dilarang berdasarkan asas-asas hukum internasional”. Aksi internasional menentang perbudakan dan perdagangan budak itu terus berlanjut sepanjang abad 20. Liga Bangsa-Bangsa mengesahkan Konvensi Penghapusan Perbudakan dan Perdagangan Budak pada tahun 1926, dan melarang praktek perbudakan di wilayah-wilayah bekas koloni Jerman dan Turki yang berada di bawah Sistem Mandat (Mandates System) Liga Bangsa-Bangsa pada akhir Perang Dunia I.
Konvensi 1926 ini masih tetap merupakan dokumen internasional utama yang melarang praktek perbudakan, meskipun konvensi ini telah diamandemen dengan suatu Protokol pada tahun 1953, dan pada tahun 1956 ditambah dengan suplemen mengenai definisi tindakan-tindakan yang termasuk dalam perbudakan di zaman modern.
v   Palang Merah Internasional
Hal besar yang lain dalam kemajuan hukum kemanusiaan internasional pada paruh kedua abad ke-19 adalah pembentukan Komite Palang Merah Internasional (1863), dan ikhtiar organisasi itu dalam memprakarsai dua konvensi internasional untuk melindungi korban perang dan perlakuan terhadap tawanan perang, yang dikenal dengan Konvensi Jenewa. Prakarsa dan usaha-usaha Palang Merah Internasional ini berlanjut melewati dua perang dunia dan sesudahnya. Organisasi internasional ini telah mensponsori sejumlah konvensi yang tidak semata-mata menangani status dan perlakuan terhadap para prajurit yang berperang, tetapi juga perlakuan terhadap penduduk sipil pada masa perang dan pembatasan terhadap cara-cara berperang (conducts of war). Singkatnya organisasi internasional ini telah berjasa melahirkan apa yang sekarang kita kenal dengan hukum humaniter internasional (international humanitarian law).
v  Liga Bangsa-Bangsa
Setelah berakhirnya Perang Dunia I, masyarakat internasional membentuk Liga Bangsa-Bangsa (League of Nations) melalui Perjanjian Versailles. Selain membentuk Liga Bangsa-Bangsa (LBB), Perjanjian Versailles juga melahirkan apa yang dikenal sekarang dengan Organisaasi Perburuhan Internasional (International Labour Organization). Tujuan utama Liga tersebut adalah “untuk memajukan kerjasama internasional, mencapai perdamaian dan keamanan internasional”. Memang Liga tersebut tidak secara eksplisit membuat ketetapan mengenai perlindungan hak asasi manusia. Namun, dari dokumen pendiriannya, yang disebut Covenant of the League of Nations, negara-negara anggotanya diwajibkan untuk berupaya ke arah sasaran-sasaran kemanusiaan seperti menetapkan kondisi kerja yang manusiawi bagi individu, larangan perdagangan perempuan dan anak, pencegahan dan pengendalian penyakit, serta perlakuan yang adil terhadap penduduk pribumi dan wilayah jajahan. Liga ini memiliki tiga organ utama, yaitu Dewan, Majelis, dan Sekretariat.
Prsstasi terbesar Liga Bangsa-Bangsa bagi kemanusiaan adalah dibentuknya Sistem Mandat (Mandates System) di bawah organisasi ini. Dengan sistem ini, bekas koloni Jerman dan Turki yang kalah perang ditempatkan di bawah “perwalian” negara-negara pemenang perang. Jadi “suatu kepercayaan suci atas peradaban” diserahkan kepada negara-negara perwalian untuk menata dan menyiapkan wilayah-wilayah mandat tersebut sampai mereka memiliki pemerintahan sendiri. Bahasa paternalistik yang digunakan dalam Covenant boleh jadi kurang disukai sekarang ini, namun yang jelas, negara perwalian diharuskan menjamin tidak ada diskriminasi rasial dan agama di wilayah-wilayah yang berada di bawah perwaliannya. Ternyata, beberapa wilayah mandat mencapai kemerdekaannya sebelum Perang Dunia II. Wilayah-wilayah mandat yang belum mencapai kemerdekaan sebelum Perang Dunia II, seperti Namibia dan Palestina, selanjutnya dialihkan kepada sistem perwalian berdasarkan Piagam PBB.
Di samping itu, Liga Bangsa-Bangsa juga menjalankan fungsi pengawasan yang berkaitan dengan “kewajiban-kewajiban yang menjadi perhatian internasional”, sebuah prosedur dan mekanisme yang memungkinkan perlindungan bagi kelompok-kelompok minoritas. Dengan mekanisme ini, kelompok minoritas yang merasa dilanggar haknya dapat mengadukan masalahnya kepada Dewan Liga. Setelah mendapat pengaduan itu, Dewan dapat mengajukan masalah itu kepada Komite ad hoc untuk Kaum Minoritas, yang bertugas mendamaikan atau mencoba mencari penyelesaian masalah tersebut dengan cara membangun persahabatan antara para pihak yang bertikai. Liga Bangsa- Bangsa resmi dibubarkan pada 18 April 1946, enam bulan setelah Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) didirikan.
6.         Setelah Perang Dunia II
Doktrin dan kelembagaan hukum internasional yang dipaparkan di atas telah ikut  mendorong perubahan yang radikal dalam hukum internasional, yaitu berubahnya status individu sebagai subyek dalam hukum internasional. Individu tidak lagi dipandang sebagai obyek hukum internasional, melainkan dipandang sebagai pemegang hak dan kewajiban. Dengan status ini, maka individu dapat berhadapan dengan negaranya sendiri di hadapan Lembaga-Lembaga Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa Bangsa. Perubahan ini dipercepat dengan meledaknya Perang Dunia II yang memberikan pengalaman buruk bagi dunia internasional. Agar tidak mengulangi pengalaman yang sama, masyarakat internasional membangun konsensus baru yang lahir dalam bentuk norma, doktrin, dan kelembagaan baru dalam hukum internasional. Berikut ini akan dibahas norma, doktrin, dan kelembagaan hukum internasional yang lahir pada periode pasca Perang Dunia II yang melahirkan hukum hak asasi manusia internasional.
v  Hak Asasi Manusia Internasional Modern
Hukum internasional yang lama (tradisional) telah berhasil mengembangkan berbagai doktrin dan kelembagaan yang dirancang dan ditujukan untuk melindungi berbagai kelompok orang, mulai dari kaum budak, kaum minoritas, bangsa-bangsa pribumi, orang-orang asing, hingga tentara (combatants). Dari perkembangan hukum dan kelembagaan inilah kemudian terbangun landasan konseptual dan kelembagaan hukum hak asasi manusia internasional kontemporer.Karena itu, kita tidak bisa memahami dengan mendalam hukum hak asasi manusia internasional saat ini tanpa didahului oleh pemahaman yang cukup tentang akar-akar historis yang melahirkannya itu. Sangat berbeda dengan doktrin dan kelembagaan yang mendahuluinya, hukum hak asasi manusia internasional modern menempatkan individu sebagai subyeknya. Individu ditempatkan sebagai pemegang hak (right-holders) yang dijamin secara internasional, semata-mata karena ia adalah individu, bukan karena alasan kebangsaannya dari suatu negara. Justru sebaliknya, status negara dalam hukum yang baru ini ditempatkan sebagai pemegang kewajiban (duty-holders). Jadi relasi antara pemegang hak dan kewajiban itulah yang menjadi pokok perhatian hukum internasional yang baru ini. Relasi keduanya ini kemudian diwadahi dalam struktur kelembagaan yang baru, yang didesain oleh PBB, melalui berbagai macam mekanisme atau prosedur pengaduan dan pemantauan hak asasi manusia dalam sistem PBB. Prosedur dan mekanisme yang dimaksud, lebih jauh akan dibahas pada bab-bab berikut dalam buku ini.
Hukum internasional yang baru itu tumbuh dan berkembang dari perjanjian-perjanjian internasional hak asasi manusia yang terus meningkat sejak 1948, selain berasal dari kebiasaan dan doktrin internasional. Peningkatan pada jumlah instrumeninstrumen hak asasi manusia internasional diiringi pula dengan semakin banyaknya jumlah negara yang mengakui dan terikat dengannya. Hal itu berarti semakin banyak negara yang tunduk pada pengawasan internasional yang dibangun berdasarkan hukum hak asasi manusia internasional tersebut. Implikasinya adalah bahwa eksklusivitas kedaulatan negara menjadi berkurang, dan negara tidak dapat lagi mengklaim dengan absah bahwa masalah hak asasi manusia sepenuhnya merupakan urusan domestiknya.
v  Hak asasi manusia oleh PBB
Setelah perang dunia ke dua mulai tahun 1946 disusunlah rancanagn piagam hak asasi manusia oleh organisasi kerja sama untuk sosial ekonomi Perserikatan Bangsa Bangsa tgerdiri dari 18 anggota.PBB membentuk komisi HAM ( Commission Of human rights ) . sidang dimulai bulan januari 1947 di bawah pimpinan Ny.Eleanor Rossevelt dua tahun kemudian tanggal 10 desember 1948 sidang PBB dilaksanakan di istana Chaillot ,Paris menerima bauk hasil kerja panitia tesebut .Karya itu berupa UNIVERSAL DECLARATION OF HUMAN RIGHTS atau pernyataan sedunia tentang hak asasi manusia terdiri dari 30 pasal ,dari 58 negara yang terwakil dalam sidang tersebut 48 negara menyetujui,8 negara abstein,dan 2 negara absen.Oleh karna itu setiap tanggal 10 desember diperingati sebagai hari Hak Asasi manusia.
Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sebagai sebuah traktat multilateral yanng mengikat secara hukum semua negara anggota PBB, Piagam itu memuat dengan eksplisit pasal pasalmengenai perlindungan hak asasi manusia. Dalam muka dimahnya tertera tekad bangsa-bangsa yang tergabung dalam PBB untuk “menyatakan kembali keyakinan pada hak asasi manusia, pada martabat dan nilai manusia”. Pasal 1 (3) mencantumkan bahwa salah satu tujuan PBB adalah “memajukan dan mendorong pernghormatan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan dasar bagi semua orang tanpa membedakan ras, jenis kelamin, bahasa, atau agama”. Selanjutnya dalam Pasal 55 ditegaskan pula, bahwa PBB “harus memajukan ... penghormatan universal terhadap, dan ketaatan kepada, hak asasi manusia dan kebebasan dasar bagi setiap orang”. Hal ini diperkuat lebih lanjut oleh Pasal 56, yang menyatakan bahwa semua anggota PBB “berjanji akan mengambil tindakan bersama dan sendiri-sendiri ... bagi tercapainya tujuan-tujuan yang dinyatakan dalam Pasal 55. Jadi, internasionalisasi hak asasi manusia dimulai dengan Piagam PBB tersebut.
Memang terdapat perbedaan pandangan berkenaan dengan karakteristik legal dari kewajiban Piagam tersebut.Beberapa ahli hukum berargumentasi bahwa persyaratan memajukan penghormatan dan ketaatan terhadap hak asasi manusia hanyalah bersifat anjuran, bukan kewajiban hukum terhadap para anggota. Lebih lanjut mereka mengemukakan bahwa kewajiban untuk memajukan hak asasi manusia tidak harus menyiratkan kewajiban untuk melindungi hak asasi manusia. Sebaliknya ahli hukum yang lain, mengajukan argumentasi bahwa Pasal 56 memberikan kewajiban yang jelas kepada semua anggota untuk mengambil tindakan positif menuju pada penghormatan dan ketaatan terhadap hak asasi manusia. Dengan demikian, tidak dapat dikatakan bahwa sebuah negara yang menyangkal hak asasi manusia sedang menjalankan kewajibannya untuk menghormati hak asasi manusia. Akhir dari perdebatan ini adalah disetujuinya secara umum bahwa ketentuan hak asasi manusia dalam Piagam menciptakan kewajiban untuk melindungi hak asasi manusia yang secara hukum mengikat anggotanya.
Kegiatan PBB dalam Bidang HAM dikelompokan menjadi :
·         Bidang Hukum,yaitu fakta-fakta internasional,deklarasi,dan instrumen hukum lainnya
·         Bidan Politik,yaitu melalui badan-badan seperti Komnsa HAM PBB
Ada 6 fakta HAM yang Utama :
·         Konvenan Internasiona tentang Hak-hak sipil dan politik (ICCPR)
·         Konvenan Internasiona tentang Hak-hak ekonomi,sosial,dan budaya (ICESCR)
·         Konvensi mengenai penghapusan Diskriminasi RAS (CERD)
·         Konvensi mengenai Penghapusan Diskriminasi terhadap Wanita (CEDAW)
·         Konvensi mengenai Hak-hak Anak (CROC)

v  The International Bill of Human Rights
International Bill of Human Rights” adalah istilah yang digunakan untuk menunjuk pada tiga instrumen pokok hak asasi manusia internasional beserta optional protocolnya yang dirancang oleh PBB. Ketiga instrumen itu adalah:
·         Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights)
·         Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights) dan
·         Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya(International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights).
 Sedangkan optional protocol yang masuk dalam kategori ini adalah, “the Optional Protocol to the Covenant on Civil and Political Rights” (Protokol Pilihan Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik). Disebut sebagai instrumen pokok karena kedudukannya yang sentral dalam corpus hukum hak asasi manusia internasional. Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia disahkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa pada tahun 1948. Deklarasi ini boleh dikatakan merupakan interpretasi resmi terhadap Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa, yang memuat lebih rinci sejumlah hak yang didaftar sebagai Hak Asasi Manusia. Deklarasi ini berfungsi sebagai “standar pencapaian bersama”. Karena itu ia dirumuskan dalam bentuk deklarasi, bukan perjanjian yang akan ditandatangani dan diratifikasi. Meskipun demikian, deklarasi itu telah terbukti menjadi langkah raksasa dalam proses internasionalisasi hak asasi manusia. Seiring dengan perjalanan waktu, status legal deklarasi itu terus mendapat pengakuan yang kuat. Selain dipandang sebagai interpretasi otentik terhadap muatan Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa, deklarasi ini juga berkembang menjadi hukum kebiasaan internasional yang mengikat secara hukum bagi semua negara.Dengan demikian pelanggaran terhadap deklarasi ini merupakan pelanggaran terhadap hukum internasional. Dua kovenan yang menyusul, yakni Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik dan Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, disahkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa pada tahun 1966. Tetapi kedua Kovenan itu baru berlaku mengikat secara hukum pada tahun 1976. Dua instrumen pokok hak asasi manusia internasional itu menunjukkan dua bidang yang luas dari hak asasi manusia, yakni hak sipil dan politik di satu pihak, dan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya di pihak lain. Kedua instrumen ini disusun berdasarkan hak-hak yang tercantum di dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, tetapi dengan penjabaran yang lebih spesifik. Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, misalnya, menjabarkan secara lebih spesifik hak-hak mana yang bersifat “non-derogable” dan hak-hak mana yang bersifat “permissible”. Begitu pula dengan Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, yang memuat secara lengkap hak-hak ekonomi dan sosial, merumuskan tanggung jawab negara yang berbeda dibandingkan dengan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik. Jadi sebetulnya dua Kovenan ini dibuat untuk menjawab masalah-masalah praktis berkaitan dengan perlindungan hak asasi manusia.

7.   .           Hak Asasi Manusia di Indonesia
HAM di Indonesia bersumber dari  Pancasiala.Berbagai instrument hak asasi manusia yang dimiliki Negara Republik Indonesia yakni :
·         Undang-Undang Dasar 1945
·         Ketetapan MPR No,XVII /MPR/1998 tentang Hak asasi Manusia
·         Undang-Undang No.39 tahun 1999 tentang Hak Asasi manusia
Di Indonesia secara garis besar disimpulkan, hak hak asasi manusia dapat dibeda-bedakan menjadi sebagai berikut :
·      Hak-hak asasi pribadi (personal rights) yang meliputi kebebasan menyatakan pendapat,kebebasan memeluk agama,dan kebebasan bergerak.
·         Hak-hak asasi ekonomi (Property Rights) yang meliputi hak untuk memiliki sesuatu,hak untuk membeli,dan menjual serta memanfaatkannya,
·         Hak-hak asasi Politik (Political rights) yaitu hak untuk ikut serta dalam pemerintahan,hak dipilih dan hak untuk mendirikan partai politik
·         Hak asasi untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan (Rights Of legal Equality )
·         Hak –hak asasi sosial dan kebudayaan(Social and culture rights).Misalnya hak untuk memilih pendidikan dan haj untuk mengembangkan kebudayaan
·         Hak asasi untuk mendapatkan perlakuan tata cara peradilan dan perlindungan (Procedural Rights).
Misalnya peraturan dalam hal penahanan,penjangkapan,penggeledahan dan peradilan.
Dalam UUD 1945 dan peraturan pelaksanaannya :
·           Latar belakang perumusan HAM di dalam UUD 1945 ( pendebatan antara Soekarno,Soepomo dengan Moch.Hatta ).
·           Pencantuman HAM dalam UUD 1945 relatif singkat ( hasil kompromi )
·           Pengaturan HAM di dalam UUD 1945 setelah perubahan ke 2 tahun 2000; Pasal 27,28 ( Bab x tentang Warga Negara ) , pasal 28 A -28j ( Bab X A tentang HAM) ,pasal 29,30,31,dan 34.
Berbeda dengan di Inggris dan Perancis yang mengawali sejarah perkembangan dan perjuangan hak asasi manusianya dengan menampilkan sosok pertentangan kepentingan antara kaum bangsawan dan rajanya yang lebih banyak mewakili kepentingan lapisan atas atau golongan tertentu saja. Perjuangan hak-hak asasi manusia Indonesia mencerminkan bentuk pertentangan kepentingan yang lebih besar, dapat dikatakan terjadi sejak masuk dan bercokolnya bangsa asing di Indonesia dalam jangka waktu yang lama. Sehingga timbul berbagai perlawanan dari rakyat untuk mengusir penjajah.
Dengan demikian sifat perjuangan dalam mewujudkan tegaknya HAM di Indonesia itu tidak bisa dilihat sebagai pertentangan yang hanya mewakili kepentingan suatu golongan tertentu saja, melainkan menyangkut kepentingan bangsa Indonesia secara utuh. Hal ini tidak berarti bahwa sebelum bangsa Indonesia mengalami masa penjajahan bangsa asing, tidak pernah mengalami gejolak berupa timbulnya penindasan manusia atas manusia. Pertentangan kepentingan manusia dengan segala atributnya (sebagai raja, penguasa, bangsawan, pembesar dan seterusnya) akan selalu ada dan timbul tenggelam sejalan dengan perkembangan peradaban manusia. Hanya saja di bumi Nusantara warna pertentangan-pertentangan yang ada tidak begitu menonjol dalam panggung sejarah, bahkan sebaliknya dalam catatan sejarah yang ada berupa kejayaan bangsa Indonesia ketika berhasil dipersatukan di bawah panji-panji kebesaran Sriwijaya pada abad VII hingga pertengahan abad IX, dan kerajaan Majapahit sekitar abad XII hingga permulaan abad XVI. Hingga kemudian diskursus tentang HAM memasuki babakan baru, pada saat Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang bertugas menyiapkan rancangan UUD pada tahun 1945, dalam pembahasan-pembahasan tentang sebuah konstitusi bagi negara yang akan segera merdeka, silang selisih tentang perumusan HAM sesungguhnya telah muncul. Di sana terjadi perbedaan antara Soekarno dan Soepomo di satu pihak dan Mohammad Hatta dan Mohammad Yamin di pihak lain. Pihak yang pertama menolak dimasukkannya HAM terutama yang individual ke dalam UUD karena menurut mereka Indonesia harus dibangun sebagai negara kekeluargaan. Sedangkan pihak kedua menghendaki agar UUD itu memuat masalah-masalah HAM secara eksplisit.
Sehari setelah proklamasi kemerdekaan, tanggal 18 Agustus 1945, Panitya Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengadakan sidang untuk mengesahkan UUD 1945 sebagai UUD negara Republik Indonesia. Dengan demikian terwujudlah perangkat hukum yang di dalamnya memuat hak-hak dasar/asasi manusia Indonesia serta kewajiban-kewajiban yang bersifat dasar/asasi pula. Seperti yang tertuang dalam Pembukaan, pernyataan mengenai hak-hak asasi manusia tidak mendahulukan hak-hak asasi individu, melainkan pengakuan atas hak yang bersifat umum, yaitu hak bangsa. Hal ini seirama dengan latar belakang perjuangan hak-hak asasi manusia Indonesia, yang bersifat kebangsaan dan bukan bersifat individu.Sedangkan istilah atau perkataan hak asasi manusia itu sendiri sebenarnya tidak dijumpai dalam UUD 1945 baik dalam pembukaan, batang tubuh, maupun penjelasannya. Istilah yang dapat ditemukan adalah pencantuman dengan tegas perkataan hak dan kewajiban warga negara, dan hak-hak Dewan Perwakilan Rakyat. Baru setelah UUD 1945 mengalami perubahan atau amandemen kedua, istilah hak asasi manusia dicantumkan secara tegas.
Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia pernah mengalami perubahan konstitusi dari UUD 1945 menjadi konstitusi RIS (1949), yang di dalamnya memuat ketentuan hak-hak asasi manusia yang tercantum dalam Pasal 7 sampai dengan 33. Sedangkan setelah konstitusi RIS berubah menjadi UUDS (1950), ketentuan mengenai hak-hak asasi manusia dimuat dalam Pasal 7 sampai dengan 34. Kedua konstitusi yang disebut terakhir dirancang oleh Soepomo yang muatan hak asasinya banyak mencontoh Piagam Hak Asasi yang dihasilkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, yaitu The Universal Declaration of human Rights tahun 1948 yang berisikan 30 Pasal.
Dengan Dekrit Presiden RI tanggal 5 juli 1959, maka UUD 1945 dinyatakan berlaku lagi dan UUDS 1950 dinyatakan tidak berlaku. Hal ini berarti ketentuan-ketentuan yang mengatur hak-hak asasi manusia Indonesia yang berlaku adalah sebagaimana yang tercantum dalam UUD 1945. Pemahaman atas hak-hak asasi manusia antara tahun 1959 hingga tahun 1965 menjadi amat terbatas karena pelaksanaan UUD 1945 dikaitkan dengan paham NASAKOM yang membuang paham yang berbau Barat. Dalam masa Orde Lama ini banyak terjadi penyimpangan-penyimpangan terhadap Pancasila dan UUD 1945 yang suasananya diliputi penuh pertentangan antara golongan politik dan puncaknya terjadi pemberontakan   G-30-S/PKI tahun 1965. Hal ini mendorong lahirnya Orde Baru tahun 1966 sebagai koreksi terhadap Orde Lama. Dalam awal masa Orde baru pernah diusahakan untuk menelaah kembali masalah HAM, yang melahirkan sebuah rancangan Ketetapan MPRS, yaitu berupa rancangan Pimpinan MPRS RI No. A3/I/Ad Hoc B/MPRS/1966, yang terdiri dari Mukadimah dan 31 Pasal tentang HAM. Namun rancangan ini tidak berhasil disepakati menjadi suatu ketetapan.
Kemudian di dalam pidato kenegaraan Presiden RI pada pertengahan bulan Agustus 1990, dinyatakan bahwa rujukan Indonesia mengenai HAM adalah sila kedua Pancasila “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab” dalam kesatuan dengan sila-sila Pancasila lainnya. Secara historis pernyataan Presiden mengenai HAM tersebut amat penting, karena sejak saat itu secara ideologis, politis dan konseptual HAM dipahami sebagai suatu implementasi dari sila-sila Pancasila yang merupakan dasar negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia. Meskipun demikian, secara Ideologis, politis dan konseptual, sila kedua tersebut agak diabaikan sebagai sila yang mengatur HAM, karena konsep HAM dianggap berasal dari paham individualisme dan liberalisme yang secara ideologis tidak diterima.Perkembangan selanjutnya adalah dengan dibentuknya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 50 Tahun 1993 tanggal 7 Juni 1993. Pembentukan KOMNAS HAM tersebut pada saat bangsa Indonesia sedang giat melaksanakan pembangunan, menunjukkan keterkaitan yang erat antara penegakkan HAM di satu pihak dan penegakkan hukum di pihak lainnya. Hal ini senada dengan deklarasi PBB tahun 1986, yang menyatakan HAM merupakan tujuan sekaligus sarana pembangunan. Keikutsertaan rakyat dalam pembangunan bukan sekedar aspirasi, melainkan kunci keseluruhan hak asasi atas pembangunan itu sendiri. Dan menjadi tugas badan-badan pembangunan internasional dan nasional untuk menempatkan HAM sebagai fokus pembangunan Guna lebih memantapkan perhatian atas perkembangan HAM di Indonesia, oleh berbagai kalangan masyarakat (organisasi maupun lembaga), telah diusulkan agar dapat diterbitkannya suatu Ketetapan MPR yang memuat piagam hak-hak asasi Manusia atau Ketetapan MPR tentang GBHN yang didalamnya memuat operasionalisasi daripada hak-hak dan kewajiban-kewajiban asasi manusia Indonesia yang ada dalam UUD 1945. Akhirnya ketetapan MPR RI yang diharapkan memuat secara adanya HAM itu dapat diwujudkan dalam masa Orde Reformasi, yaitu selama Sidang Istimewa MPR yangberlangsung dari tanggal 10 sampai dengan 13 November 1988. Dalam rapat paripurna ke-4 tanggal 13 November 1988, telah diputuskan lahirnya Ketetapan MPR RI No. XVII/MPR/1988 tentang Hak Asasi Manusia. Kemudian Ketetapan MPR tersebut menjadi salah satu acuan dasar bagi lahirnya UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang disahkan pada tanggal 23 september 1999. Undang-Undang ini kemudian diikuti  lahirnya Perpu No. 1 Tahun 1999 yang kemudian  disempurnakan dan ditetapkan menjadi UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
 Sebagai bagian dari HAM, sebelumnya telah pula lahir UU No. 9 Tahun 1998  tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum yang disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 26 oktober 1998, serta dimuat dalam LNRI Tahun 1999 No. 165.
Di samping itu, Indonesia telah merativikasi pula beberapa konvensi internasional yang mengatur HAM, antara lain :
·         Deklarasi tentang Perlindungan dan Penyiksaan, melalui UU No. 5 Tahun 1998.
·         Konvensi mengenai  Hak Politik Wanita 1979, melalui UU No. 68 Tahun 1958.
·         Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap wanita, melalui UU No. 7 Tahun 1984.
·         Konvensi Perlindungan Hak-Hak Anak, melalui Keppres No. 36 Tahun 1990.
·         Konvensi tentang Ketenagakerjaan, melalui UU No. 25 Tahun 1997, yang pelaksanaannya ditangguhkan sementara.
·         Konvensi tentang Penghapusan Bentuk Diskriminasi Ras Tahun 1999, melalui UU No. 29 Tahun 1999.