Kamis, 13 Juni 2013

Perbandingan UU Lingkungan Hidup

PENDAHULUAN


Perkembangan mengenai Undang – Undang lingkungan hidup khususnya di Indonesia, tidak dapat dipisahkan oleh pengaruh gerakan Negara- Negara maju untuk memberikan perhatian yang lebih besar terhadap lingkungan hidup, mengingat bahwa lingkungan hidup telah menjadi permasalahan yang perlu ditanggulangi bersama – sama demi kelangsungan hidup di dunia ini. Konfrensi Internasional tentang lingkungan hidup yang diadakan pada bulan juli 1972 menghasilkan suatu deklarasi yang kita kenal dengan Deklarasi Stockholm yang berisi 26 asas dan 109 rekomendasi. Berdasarkan hal tersebut Indonesia sebagai Negara yang kaya akan sumber daya alamnya, perlu rasanya mengadopsi deklarasi tersebut dan mengimplementasikannya ke dalam Undang – Undang yang baru terwujud pada tahun 1982 dengan di Undangkannya yaitu Undang – Undang No.4 Tahun 1982 Tentang Ketentuan – Ketentuan Pokok Pengelolaan Linkungan Hidup yang menjadi momentum awal pembangunan perangkat hukum sebagai dasar bagi upaya pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup. Dan UU tersebut telah mengalami dua kali penyempurnaan yaitu dengan diundangkannya UU. No.23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan UU. No.32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Perbedaan yang nampak dalam ke tiga perundang – undangan ini adalah :
UU. No.4 Tahun 1982
Terdiri dari 9 Bab dan 24 Pasal
UU. No.23 Tahun 1997
Terdiri dari 11 Bab dan 52 Pasal
UU. No.32 Tahun 2009
Terdiri dari 17 Bab dan 127 Pasal

UU. No.4 Tahun 1982
Terbitnya UU ini sebagai akibat dari tindakan manusia yang mengeksploitasi Sumber Daya Alam tanpa memperhatikan kelestaraian lingkungan, sehingga masa depan generasi mendatang terusik karenanya, oleh karena itu perlu ditetapkan hokum yang mengatur tentang lingkungan yang bersifat nasional, karena ketentuan yang sudah ada sifatnya sporadis.

Ketentuan umum diatur dalam Pasal 1 terdiri dari 14 ayat
Defenisi diatur dalam Pasal 1 ayat (1) : Lingkungan Hidup adlah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan mahluk hidup, termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta mahluk hidup lainnya.

Asas hanya di atur dalam 1 Pasal
Tujuan diatur dalam 1 Pasal dan 5 ayat
Tidak mengatur inventarisasi lingkungan hidup
Tentang hak, kewajiban dan wewenang diatur dalam 6 Pasal
Tentang perlindungan lingkungan hidup diatur dalam 7 Pasal
Tentang kelembagaan diatur dalam 2 Pasal
Tentang ganti rugi dan biaya pemulihan diatur dalam 2 pasal

Ketentuan Pidana diatur dalam 1 Pasal dan 3 ayat yaitu :
Pencemaran dan kerusakan lingkungan akibat kelalaian diancam pidana kurungan selama – lamanya 1 ( satu ) tahun dan atau denda sebanyak Rp.1000.000.- ( Satu Juta Rupiah ), sedangkan akibat dengan sengaja ancaman pidana penjaraNya 10 ( Sepuluh ) tahun dan atau denda sebanyak – banyaknya Rp.100.000.000.- (Seratus Juta Rupiah).

Bab IV Perlindungan Lingkungan hidup ada 7 Pasal
Tidak mengatur audit lingkungan
Tidak mengatur masalah penyidikan
Tidak mengatur mengenai wilayah ekoregion
Ketentuan pidananya kurang lengkap


UU. No.23 Tahun 1997
Adanya UU ini akibat perkembangan dan kemajuan industri yang pesat, sehingga perlu ditata penanganan limbah yang dihasilkan oleh industri – industri.

Ketentuan Umum diatur dalam 25 ayat
Definisi diatur dalam Pasal 1 ayat (1) yaitu : Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan mahluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta mahluk hidup lain.

Asas, Tujuan dan Sasaran diatur dalam 2 Pasal dan 6 ayat
Tidak mengatur inventarisasi lingkungan hidup
Bab V Mengatur Pelestarian Fungsi Lingkungan hidup diatur dalam 4 Pasal
Mengatur tentang audit lingkungan
Tidak mengatur wilayah ekoregion
Bab VIII mengatur mengenai Penyidikan dalam 1 Pasal
Ketentuan Pidana diatur dalam 8 Pasal
Pencemaran dan kerusakan lingkungan akibat kealpaan diancam pidana penjara paling lama 3 ( Tiga ) tahun dan denda paling banyak Rp.100.000.000.- ( Seratus juta rupiah ), sedangkan Pencemaran yang dilakukan dengan sengaja maka ancaman pidana penjara paling lama 10 ( Sepuluh ) tahun dan denda paling banyak Rp.500.000.000.- ( Lima Ratus Juta Rupiah ).

UU. No.32 Tahun 2009
Munculnya UU ini akibat adanya ancaman pemanasan global yang semakin meningkat.
Ketentuan Umum diatur dalam 39 Pasal, lebih lengkap.
Definisi diatur dalam Pasal 1 ayat ( 1 ) yaitu : Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan mahluk hidup termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta mahluk hidup lainnya.

Asas diatur dalam 1 Pasal dan 14 ayat
Tujuan diatur dalam 1 Pasal dan 10 ayat
Adanya pengaturan inventarisasi lingkungan hidup, diatur dalam 1 Pasal dan 2 ayat
Mengatur tentang audit lingkungan
Adanya pengaturan penetapan wilayah ekoregion, diatur dalam 2 Pasal dan 2 ayat
Bab V Pengendalian diatur dalam 44 Pasal
Ruang lingkup diatur dalam 1 Pasal dan 6 ayat
Bab XIV, mengatur tentang penyidikan dan pembuktian dalam 3 pasal dan 9 ayat
Ketentuan pidana diatur dalam 24 Pasal, lebih lengkap.

Pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup akibat kelalaian ancaman pidana penjara paling singkat 1 ( Satu ) tahun dan paling lama 3 ( tiga ) tahun dan denda paling sedikit Rp.1000.000.000.- ( satu Milyar Rupiah ) dan paling banyak Rp.3.000.000.000.- ( Tiga Milyar Rupiah ). Sedangkan akibat dengan sengaja ancaman pidana penjara paling sedikit 10 ( Sepuluh ) tahun dan denda paling sedikit Rp.3.000.000.000.- ( Tiga Milyar Rupiah ) dan paling banyak Rp.10.000.000.000.- ( Sepuluh Milyar Rupiah ).





Politik Hukum

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kejahatan, baik dalam arti sebagai tindak pidana (konsepsi yuridis) maupun dalam arti sebagai perilaku yang menyimpang (konsepsi sosiologis), eksistensinya diakui dan diterima sebagai suatu fakta, baik oleh masyarakat yang paling sederhana maupun oleh masyarakat yang paling modern. Salah satu alasan pengakuan terhadap eksistensi kejahatan tersebut, karena kejahatan itu merupakan salah satu bentuk tingkah laku manusia yang sangat
merugikan masyarakat, seperti pemerkosaan, pembunuhan, penganiayaan, perampokan dan lain-lain. Kejahatan sebagai salah satu bentuk tingkah laku manusia yang sangat merugikan masyarakat (karena mengancam norma-norma yang mendasari kehidupan atau keteraturan sosial, dapat menimbulkan ketegangan individual maupun ketegangan-ketegangan sosial), tidak saja diakui oleh para ahli secara perorangan atau oleh masyarakat tertentu, tetapi juga oleh masyarakat bangsa-bangsa melalui kongres-kongres internasional, antara lain dinyatakan di dalam :
a. Laporan Kongres PBB ke-5 tahun 1975 di Jenewa, telah dinyatakan, bahwa tidak   diragukan lagi kejahatan telah membawa akibat-akibat sebagai berikut :
1)  Mengganggu atau merintangi tercapainya tujuan nasional;
2)  Mencegah penggunaan optimal sumber-sumber nasional.
b. Kongres ke-6 tahun 1980 di Caracas, dalam salah satu pertimbangan deklarasinya, antara lain dinyatakan :
“Bahwa fenomena kejahatan melalui pengaruhnya terhadap masyarakat, mengganggu seluruh pembangunan bangsa-bangsa, merusak kesejahteraan rakyat baik spiritual maupun material, membahayakan martabat kemanusian dan menciptakan suasana takut dan kekerasan yang merongrong kualitas lingkungan hidup”.
Berdasarkan luasnya dampak negatif yang ditimbulkan oleh kejahatan, dapat dipahami apabila bangsa-bangsa di dunia berupaya dengan segala daya yang ada untuk melakukan penanggulangan terhadap kejahatan Salah satu upaya penanggulangan terhadap kejahatan yang telah dilakukan selama ini bahkan merupakan cara yang paling tua setua peradaban manusia itu sendiri, ialah menggunakan hukum pidana dengan sanksinya berupa pidana. Beberapa alasan penggunaan hukum pidana sebagai sarana penanggulangan
kejahatan, dikemukakan oleh :

a. Roeslan Saleh, menyatakan :
1)  Perlu tidaknya hukum pidana tidak terletak pada persoalan tujuantujuan yang hendak dicapai tetapi terletak pada persoalan seberapa jauh untuk mencapai tujuan itu boleh menggunakan paksaan; persoalannya bukan terletak pada hasil yang akan dicapai, tetapi dalam pertimbangan antara nilai dari hasil itu dan dalam dari batasbatas kebebasan pribadi masing-masing;
2)  Ada usaha-usaha perbaikan atau perawatan yang tidak mempunyai arti sama sekali bagi si terhukum dan disamping itu harus ada reaksi atas pelanggaran-pelanggaran norma yang telah dilakukan itu dan tidaklah dapat dibiarkan begitu saja;
3)  Pengaruh pidana atau hukum pidana bukan semata-mata ditujukan kepada si penjahat, tetapi juga untuk mempengaruhi orang yang tidak jahat, yaitu warga masyarakat yang mentaati norma-norma masyarakat.
c. Marc Ancel, menyatakan :
Sistem hukum pidana, tindak pidana, penilaian hakim terhadap si pelanggar dalam hubungannya dengan hukum secara murni dan pidana merupakan lembaga-lembaga yang harus tetap dipertahankan.
d. Muladi, menyatakan :
Hukum pidana dan pidana masih tetap diperlukan sebagai sarana penanggulangan kejahatan, karena di dalamnya tidak saja terkandung aspek rehabilitasi dan koreksi, tetapi juga aspek pengamanan masyarakat terhadap pelaku tindak pidana yang berat.
Pengguna hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan, dalam kenyataanya bukan saja tidak mampu menanggulangi kejahatan secara tuntas, tetapi lebih parah daripada itu telah menimbulkan penderitaan yang sangat besar bagi yang terkena, baik sebagai akibat dari proses menegakkannya (dalam arti sempit) maupun sebagai akibat dari pengenaan pidananya. Tidak yang selalu bersifat sejahtera (welfare), baik tujuan jangka pendek berupa resosialisasi terpidana, tujuan menengah berupa pengendalian kejahatan, maupun tujuan jangka panjang berupa kesejahteraan sosial, seringkali bersifat unwelfare sebagai dampak penerapan sanksi negatif berupa pidana, baik hal ini berupa hilangnya kemerdekaan, hilangnya atau berkurangnya harta benda, hilangnya nyawa, stigma sosial, dan sebagainya”. Dengan kata lain, dalam kenyataannya hukum pidana telah gagal melaksanakan fungsinya, yaitu menanggulangi kejahatan (fungsi primer) dan membatasi kekuasaan pemerintah dalam menanggulangi kejahatan (fungsi sekunder).
Kegagalan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan, terbukti dengan meningkatnya kejahatan dari tahun ke tahun. Peningkatan itu tidak hanya dari segi kuantitasnya, tetapi juga pada kualitasnya. Misalnya penggunaan teknologi canggih dan perubahan pola modus operandi yang melahirkan kejahatan white collar, seperti kejahatan korporasi, kejahatan pemalsuan pajak, kejahatan komputer, pencemaran dan perusakan lingkungan hidup, penipuan konsumen dan sebagainya dengan korban yang tidak hanya berorienasi kepada individu, tetapi juga kepada masyarakat dan bahkan negara. Penanggulangan kejahatan dengan menggunakan (hukum) pidana oeh Gene Kassebaum disebut sebagai older philosophy of control. Pendapat lain menyatakan, bahwa (hukum) pidana merupakan “peninggalan dari kebiadaban kita masa lalu (a vestige of our savage past)” yang seharusnya dihindari. Pendapat ini nampaknya didasarkan pada pandangan, bahwa pidana merupakan tindakan perlakuan atau pengenaan penderitaan yang kejam. Memang sejarah hukum pidana menurut M. Cherif Bassiouni, penuh dengan gambaran-gambaran mengenai perlakuan yang oleh ukuran-ukuran sekarang dipandang kejam dan melampaui batas. Dikemukakan selanjutnya bahwa gerakan pembaharuan pidana di Eropa Kontinental dan di Inggris, terutama justru merupakan reaksi humanistis terhadap kekejaman pidana. Atas dasar pandangan yang demikian pulalah kiranya, ada pendapat yang menyatakan bahwa teori retirbutif atau teori pembalasan dalam hal pemindanaan merupakan a relic of barbarism.
Kampanye anti pidana tersebut masih terdengar di abad ke-20 ini, dengan slogan barunya yang terkenal the struggle against punish atau abolition of punishment. Ditemukan oleh seorang ahli psychiatry forensic sekaligus seorang kriminolog bernama Olof Kingberg. Bahwa kejahatan pada umumnya merupakan perwujudan dari ketidaknormalan atau ketidakmatangan si pelanggar (the exoression of an offrenders abnormality or immaturity) dari pada (punishment). kriminolog lainnya bernama Karl Mengatakan, “sikap memidana” (punitive Attitude) harus diganti dengan :sikap mengobati” (therepeutic attitude)  Ide penghapusan pidana ini dikemukakan pula oleh Filippo Gramatica, seorang tokoh ekstrim dari aliran defense sociale yang merupakan perkembangan lebih lanjut dari aliran modern. Menurut Gramatica, hukum perlindungan sosial harus menggantikan hukum pidana yang ada sekarang. Tujuan utama hukum perlindungan sosial adalah mengintegrasikan individu ke dalam tertib sosial dan bukan pemidanaan terhadap perbuatannya. Hukum perlindungan sosial mensyaratkan penghapusan pertanggungjawaban pidana (kesalahan) dan tempatnya digantikan oleh pandangan tentang perbuatan anti sosial. Jadi pada prinsipnya ajaran Gramatica menolak konsepsi-konsepsi mengenai tindak pidana, penjahat dan pidana.

B. Identifikasi Masalah :
 Berdasarkan uraian dalam bab pendahuluan di atas maka permasalahan yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini adalah :
1. Apakah yang dimaksud dengan Pelaksanaan Politik Hukum  Pidana?
2.Bagaimanakah Pendekatan dalam Pelaksanaan Politik Hukum Pidana Guna Penanggulangan Kejahatan ?
3. Apa Saja Yang Menjadi Tahapan Pelaksanaan Politik Hukum Pidana ?

C. Tujuan Penelitian dan Kegunaan Penelitian
1.  Tujuan Penelitian :
a. Untuk mengetahui dan menjelaskan pengertian dan ruang lingkup politik hukum pidana;
b. Untuk mengetahui dan menjelaskan fungsi politik hukum pidana dalam penanggulangan  kejahatan
c.  Untuk mengetahui apa saja tahapan – tahapan dalam Pelaksanaan Politik hukum Pidana.
2.   Kegunaan Penelitian :
a.   Kegunaan Teoritis
      Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu hukum   di Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan upaya penanggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum pidana.
b.   Kegunaan Praktis
      Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan-masukan dan alternatif bagi       pemerintah dan penegakan hukum dalam rangka penanggulangan terhadap kejahatan.

D. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode Kualitatif, yaitu mengacu pada sumber – sumber pustaka seperti buku dan artikel. Selain itu penelitian mengacu pada pendapat para ahli. Tidak menggunakan angka – angka atau rumusan – rumusan.














BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Urgensi Penanggulangan Kejahatan Dengan Hukum Pidana.
Disatu sisi muncul kampanye anti pidana dan hukum pidana sebagai reaksi terhadap kenyataan, bahwa penggunaan hukum pidana dan sanksinya berupa pidana sebagai sarana penanggulangan kejahatan bukan saja tidak mampu menanggulangi kejahatan secara tuntas, melainkan juga telah menimbulkan dampak negatif yang sangat merugikan bagi yang terkena, tidak boleh diabaikan. Di sisi lain hukum pidana dan pidana masih tetap diperlukan sebagai sarana penanggulangan kejahatan, karena sampai saat ini masih tetap dipergunakan dan sampai saat ini pula belum ada satu pun negara yang tidak mempergunakan hukum pidana sebagai sarana penanggulangan kejahatan. Bahkan penggunaan hukum pidana semakin berkembang sejalan dengan perkembangan kejahatan itu sendiri, walaupun perdebatan mengenai hukum pidana menurut Ankeri Anttilia.  telah berlangsung beratus-ratus tahun. Bahkan menurut Muladi dewasa ini masalah hukum pidana dan pidana menjadi sangat kompleks sebagai akibat dari usaha untuk lebih memperhatikan faktor-faktor yang menyangkut hak-hak asasi manusia, serta menjadikan hukum pidana dan pidana bersifat operasional dan fungsional. Persoalannya sekarang, apabila hukum pidana dengan sanksinya berupa pidana ingin tetap dipergunakan sebagai sarana penanggulangan kejahatan, maka tidak ada cara lain kecuali mengupayakan agar penegakan hukum pidana disamping mampu menanggulangi kejahatan juga tidak boleh menimbulkan dampak negatif yang sangat merugikan bagi yang terkena.  Untuk mewujudkan hukum pidana dan pemidanaan yang mampu menanggulangi kejahatan dan tidak menimbulkan dampak negatif yang sangat merugikan bagi yang terkena, maka :
a.Penegakan hukum pidana dan pemidanaan tidak boleh lagi dilihat sebagai satu-satunya  tumpuan harapan untuk dapat menyelesaikan atau menanggulangi kejahatan secara tuntas. Sebab, pada hakikatnya kejahatan merupakan “masalah kemanusiaan” dan “masalah sosial”, yang tidak dapat diatasi semata-mata dengan hukum pidana. Sebagai suatu masalah sosial, kejahatan merupakan suatu fenomena kemasyarakatan yang dinamis yang selalu tumbuh dan terkait dengan fenomena dan struktur kemasyarakatan lainnya yang sangat kompleks.
b.Penegakkan hukum pidana dan pemidanaan tidak boleh lagi dilihat sebagai masalah hukum semata-mata (tidak boleh lagi berpegang pada asas legalitas yang rigit dan tujuan pemidanaan yang sempit), tetapi juga merugikan masalah kebijakan (the problem of policy).
Sebagai suatu masalah-masalah kebijakan, maka penggunaan hukum pidana sebenarnya tidak merupakan suatu keharusan. Tidak ada absolutisme dalam bidang kebijakan, karena pada hakikatnya dalam masalah kebijakan orang dihadapkan pada masalah penilaian dan pemilihan dari berbagai macam alternatif. Dengan demikian masalah pengendalian atau penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sarana hukum pidana, hanya merupakan salah satu alternatif yang dapat dilakukan untuk menanggulangi kejahatan dari sekian banyak alternatif yang dapat dilakukan. Sebagai salah satu alternatif yang dapat dilakukan untuk menanggulangi kejahatan, maka penegakkan hukum pidana harus dilihat sebagai bagian dari politik kriminal (criminal policy), yakni usaha rasional untuk menanggulangi kejahatan. Sebagai bagian dari politik kriminal, maka penegakan hukum pidana sebagai suatu proses kebijakan dapat diartikan sebagai “usaha rasional untuk menanggulangi kejahatan dengan menggunakan hukum pidana”. Ini pulalah yang menjadi definisi dari “politik hukum pidana”. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa latar belakang penggunaan politik hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan dengan hukum pidana adalah keadaan penegakan hukum pidana yang bukan saja tidak mampu menanggulangi kejahatan secara tuntas, tetapi juga telah menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi yang terkena, baik hal itu berupa hilangnya kemerdekaan, hilangnya atau berkurangnya harta benda, hilangnya nyawa, stigma sosial dan lain sebagainya. Dengan kata lain, hukum pidana telah gagal melaksanakan fungsinya, yaitu menanggulangi kejahatan (fungsi primer) dan membatasi kekuasaan pemerintah dalam menaggulangi kejahatan (fungsi sekunder).
Kegagalan hukum pidana melaksanakan fungsinya (baik fungsi primer maupun fungsi sekunder) merupakan akibat dari sikap aparat penegak hukum yang memandang penegakan hukum pidana dan penerapan sanksinya berupa pidana sebagai konsekuensi logis dari setiap kejahatan, sehingga apabila hukum pidana dan pidana telah diterapkan, maka penanggulangan kejahatan dianggap selesai. Pandangan yang demikian telah membentuk sikap para penegak hukum untuk selalu menegakkan hukum pidana dengan mengenakan pidana yang berat terhadap setiap kejahatan. Walaupun untuk menerapkan hukum pidana dan pidana tersebut, aparat penegak hukum harus menempuh berbagai cara termasuk cara-cara yang bertentangan dengan hak asasi manusia yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab. Dengan menggunakan politik hukum pidana (pendekatan kebijakan), penegakan hukum pidana dengan sanksinya berupa pidana tidak dilihat sebagai suatu keharusan dalam menanggulangi kejahatan, melainkan dilihat sebagai suatu kebijakan yang menempatkan hukum pidana dan sanksinya berupa pidana sebagai salah satu alternatif dari sekian banyak alternatif yang dapat dilakukan untuk menanggulangi kejahatan. Dengan pandangan yang demikian, maka penegakkan hukum pidana dengan sanksinya berupa pidana hanya akan digunakan untuk dicapai dengan hukum pidana dan pidana tersebut. Dengan kata lain, politik hukum melihat penegakan hukum pidana dan pemidanaan sebagai salah satu sarana penanggulangan kejahatan untuk mencapai suatu tujuan. Sebagai salah satu sarana, maka penggunaan hukum pidana dan pidana bukan suatu keharusan.
B. Pembaharuan Substansi Hukum Pidana
“Pembaharuan” atau “Pembaruan” dalam kamus umum Bahasa Indonesia karangan W.J.S. Poerwadarminta  diartikan sebagai “perbuatan atau cara membarui”. “Membarui” mempunyai tiga pengertian, yaitu (1) Memperbaiki supaya menjadi baru (merehab, pen.); (2) Mengulang sekali lagi/memulai lagi; (3) Mengganti dengan yang baru. Menghubungkan ketiga pengertian di atas dengan hukum pidana sebagai obyek pembaharuan, maka pengertian yang paling tepat untuk digunakan untuk pembaharuan hukum pidana adalah pengertian yang ketiga, yaitu “mengganti dengan yang baru”. Sebab, menurut Gustav Radbruch membarui hukum pidana tidak berarti memperbaiki hukum pidana, akan tetapi menggantikannya dengan yang lebih baik.
Bertolak dari pendapat Gustav Radbruch diatas dikaitkan dengan pembahruan hukum pidana Indonesia, khususnya KUHP, Sudarto mengatakan, bahwa cukup banyak yang telah dilakukan, amun apa yang telah dikerjakan itu sama sekali tidak bisa dikatakan suatu law Reform secara total seperti yang dimaksud oleh Gustav Radbrrch. Apa yang telah dilakukan adalah tambal sulam.
Berdasarkan uraian tentang pengertian “pembaharuan” yang telah dikemukakan diatas, maka dapat dinyatakan bahwa pembaharuan diatas, maka dapat dinyatakan bahwa pembaharuan hukum pidana diartikan sebagai usaha atau cara untuk menggantikan hukum pidana yang ada dengan hukum pidana yang lebih baik, yang sesuai dengan keadilan dan perkembangan masyarakat. Hukum pidana meliputi hukum pidana material, hukum pidana formal dan hukum pelaksanaan pidana atau sering juga disebut hukum pidana substantif, hukum acara pidana dan hukum pelaksanaan pidana. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa ruang lingkup pidana tersebut, yaitu hukum pidana material atau hukum pidana substantif, hukum pidana formal atau hukum acara pidana dan hukum pelaksanaan pidana.  Sehubungan dengan ruang lingkup pembaharuan hukum pidana tersebut, Sudarto  menyatakan :
Pelaksanaan pembaharuan hukum pidana yang menyeluruh harus meliputi pembaharuan hukum pidana material (substantif). Hukum pidana formal (hukum acara pidana) dan hukum pelaksanaan pidana (strafvillsteckuenggesterz). Ketiga bidang hukum pidana itu harus bersamasama dibaharui. Kalau hanya salah satu timbul kesulitan dalam pelaksanaannya, dan tujuan dari pembaharuan itu tidak akan tercapai sepenuhnya. Adapun tujuan utama dari pembaharuan itu ialah penanggulangan kejahatan. Ketiga bidang hukum itu erat sekali hubungannya.
Oleh karena itu menurut Barda Nawawi Arief
Dengan direncanakannya pembaharuan hukum pidana material, yaitu dengan telah disiapkannya konsep KUHP Baru, perlu kiranya dilakukan pengkajian seberapa jauh beberapa aspek baru tersebut menimbulkan permasalahan dilihat dari sudut hukum acara pidana. Seberapa jauh pula konsep KUHP baru dalam konsep tersebut memerlukan dukungan aturan-aturan bari dibidang hukum acara pidana, atau sebaliknya seberapa jauh hukum acara
pidana yang saat ini berlaku (khususnya yang terdapat didalam KUHAP) memerlukan peninjauan dan penyesuaian kembali dengan ketentuanketentuan yang terdapat di dalam konsep KUHP Baru tersebut.
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa pembaharuan hukum pidana diartikan sebagai suatu usaha atau cara untuk menggantikan hukum pidana yang ada dengan hukum pidana yang lebih baik, yang sesuai dengan keadilan dan perkembangan masyarakat. Ini berarti bahwa pembaharuan hukum pidana tidak dapat dilepaskan dari politik hukum pidana sebagai bagian dari politik hukum, yang mengandung arti bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan perundang-undangan pidana yang baik.
Timbulnya keadaan yang menuntut usaha untuk menciptakan hukum pidana yang sebaik-baiknya atau melakukan pembaharuan hukum pidana, tentunya karena hukum pidana yang ada sekarang dianggap belum baik dan tidak sesuai lagi dengan keadaan dan kebutuhan masyarakat sekarang. Timbulnya keadaan yang demikian itu tidak lain karena adanya perkembangan masyarakat, baik nasional, regional maupun global dan perkembangan hukum pidana itu sendiri (dalam arti luas yang menyangkut perkembangan teori-teori, ide-ide dan asas-asas serta perkembangan hukum pidana Negara lain). Sehubungan dengan perkembangan masyarakat internasional, Muladi menyatakan bahwa perkambangan internasional ini pada hakikatnya mencakup perkembangan dalam berbagai aspek ilmu pengetahuan modern tentang kejahatan (modern criminal science), kriminologi maupun dalam bidang politik hukum pidana.










BAB III
PEMBAHASAN

A. Pengertian Politik Hukum Pidana dan Pelaksanaan Politik Hukum Pidana
Ada baiknya sebelum kita lebih jauh membahas mengenai pengertian Pelaksanaan Politik Hukum Pidana, kita terlebih dahulu mengetahui tentang pengertian apa itu Politik Hukum Pidana. Istilah “Politik Hukum Pidana” dalam tulisan ini diambil dari istilah Policy (Inggris) atau Politiek (Belanda). Oleh karena itu, maka istilah “Politik Hukum Pidana” dapat pula disebut dengan istilah “Kebijaksanaan Hukum Pidana”. Dalam kepustakaan asing, istilah politik hukum pidana ini sering dikenal dengan  berbagai istilah, antara lain penal politik, criminal policy atau strafrechtspolitiek.
Pengertian Politik Hukum Pidana menurut para ahli, diantaranya adalah :
a.Menurut Marcx Ancel, Penal Policy adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan.
b. Menurut A. Mulder,   Strafrechtspolitiek ialah garis kebijakan untuk menentukan :
1) Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu dirubah atau  diperbaharui.
2)   Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana.
3) Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana harus       dilaksanakan.
c.Menurut Soerjono Soekanto, Politik hukum pidana pada dasarnya mencakup tindakan  memilih nilai-nilai dan menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kenyataannya. Politik untuk mencegah terjadinya delinkuensi dan kejahatan : dengan kata lain, maka politik hukum pidana merupakan upaya untuk secara rasional mengorganisasikan reaksireaksi sosial rasional mengorganisasikan reaksi-reaksi sosial terhadap delinkuensi dan kejahatan.
Disamping beberapa pengertian yang telah dikemukakan di atas, pengertian politik hukum pidana dapat pula dikemukakan berdasarkan pengertian politik kriminal. Politik kriminal (criminal policy) adalah usaha rasional untuk menanggulangi kejahatan. Politik hukum pidana mengejawantah dalam bentuk Penal (hukum pidana) dan Nonpenal (tanpa hukum pidana). Dengan demikian, sebagai bagian dari politik kriminal, politik hukum pidana dapat diartikan sebagai “suatu usaha yang rasional untuk menanggulangi kejahatan dengan menggunakan hukum pidana”. Bertolak dari beberapa uraian mengenai pengertian politik hukum pidana yang dikemukakan diatas, maka secara umum dapat dinyatakan, bahwa politik hukum pidana adalah : “suatu usaha untuk menanggulangi kejahatan melalui penegakan hukum pidana yang rasional, yaitu memenuhi rasa keadilan dan daya guna.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang disusun oleh Tim Penyusun Kamus, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa yang ditertibkan oleh Balai Pustaka Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Cetakan ke-3 tahun 1990. “Pelaksanaan adalah proses atau cara perbuatan melaksanakan”. Menurut Sudarto  “Melaksanakan Politik hukum pidana berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna”. Dalam kesempatan lain beliau menyatakan “Bahwa melaksanakan politik hukum pidana berarti usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa yang akan datang”. Dengan demikian pelaksanaan politik hukum pidana dapat diartikan sebagai proses atau cara mewujudkan peraturan perundangundangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi saat ini dan masa yang akan datang dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Adapun proses atau cara mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana tersebut dalam kenyataan, mencakup tiga tahap, yaitu tahap formulasi, tahap aplikasi dan tahap eksekusi yang melibatkan tiga komponen atau faktor yang terkait dalam penegakan hukum, yaitu komponen kultur atau nilai hukum, komponen struktur hukum dan komponen substansi hukum.

B. Pendekatan Dalam Pelaksanaan Politik Hukum Pidana Guna Penanggulangan Kejahatan
1. Pendekatan Integral Antara Kebijaksanaan Penal dan Nonpenal
Usaha-usaha yang rasional untuk mengendalikan atau menanggulangi kejahatan (politik  kriminal) sudah barang tentu tidak hanya dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana), tetapi juga dapat menggunakan sarana nonpenal. Usaha-usaha nonpenal ini misalnya penyantunan dan pendidikan sosial dalam rangka pengembangan tanggung jawab sosial warga masyarakat; penggarapan kesehatan jiwa masyarakat melalui pendidikan moral, agama dan sebagainya; peningkatan usaha-usaha kesejahteraan anak dan remaja; kegiatan patroli dan pengawasan lainnya secara terus-menerus oleh polisi dan aparat keamanan lainnya. Usaha-usaha ini dapat meliputi bidang yang sangat luas sekali mencakup seluruh sektor kehidupan nasional. Tujuan uatama usaha nonpenal tersebut adalah memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu, namun secara tidak langsung mempunyai pengaruh preventif terhadap kejahatan. Dengan demikian dilihat dari sudut politik kriminal, keseluruhan kegiatan preventif yang nonpenal itu sebenarnya mempunyai kedudukan yang sangat strategis, memegang posisi kunci yang harus diefektifan dan diitensifkan. Kegagalan dalam menggarap posisi strategis ini justru akan berakibat sangat fatal bagi usaha penanggulangan kejahatan. Oleh karena itu, suatu politik kriminal harus dapat mengintegrasikan dan mengharmonisasikan seluruh kegiatan negara yang teratur dan terpadu. Dengan demikian masalah utamanya adalah mengintegrasikan dan mengharmonisasikan kegiatan atau politik nonpenal dan penal itu kearah pengurangan faktor-faktor potensial yang menumbuh suburkan kejahatan. Dengan pendekatan politik yang integral inilah diharapkan social defence planning benar-benar dapat berhasil dan dengan demikian diharapkan pula tercapai hakikat tujuan politik sosial yang tertuang dalam rencana pembangunan nasional, yaitu kualitas lingkungan hidup yang sehat dan bermakna.
2. Pendekatan Kebijakan dan Pendekatan Nilai
Tiga masalah sentral dalam politik kriminal dengan menggunakan sarana hukum pidana (politik hukum pidana), yaitu masalah penentuan:
a. Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana;
b. Siapa yang dapat dimintai pertanggung jawaban pidana; dan
c. Sanksi apa yang sebaiknya dikenakan kepada si pelanggar.
Penganalisaan terhadap ketiga masalah sentral diatas tidak dapat dilepaskan dari konsepsi, bahwa politik kriminal merupakan bagian integral dari politik sosial. Ini berarti bahwa pemecahan masalah-masalah tersebut diatas harus pula diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dari politik sosial yang telah ditetapkan. Dngan demikian politik hukum pidana (termasuk pula dalam menangani tiga masalah sentral di atas) harus pula dilakukan dengan pendekatan yang berorientasikan pada kebijakan (policy oriented approach). Berdasarkan pada pendekatan yang berorientasi pada politik sosial inilah kiranya Sudarto berpendapat, bahwa dalam mengatasi masalah sentral di atas yang sering disebut masalah kriminalisasi, harus diperhatikan hal-hal yang pada intinya sebagai berikut:
a. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata material dan spiritual berdasarkan Pancasila. Sehubungan dengan itu, maka penggunaan hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan pengangguran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat.
b. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah dan ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu perbuatan yang mendatangkan ketugian baik material maupun spiritual atas warganya.
c. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan kelampauan beban tugas (overbelasting).
Selanjutnya dikemukakan bahwa problem dari pendekatan yang berorientasi pada kebijakan adalah kecenderungan untuk menjadi pragmatis dan kuantitatif serta tidak memberi kemungkinan untuk masuknya faktor-faktor yang subyektif, misalnya nilai-nilai kedalam proses pembuatan keputusan. Namun demikian pendekatan yang berorientasi pada kebijakan ini, menurut Bassiouni seharusnya dipertimbangkan sebagai salah satu scientific device dan digunakan sebagai alternatif dari pendekatan yang secara emosional diorientasikan pada pertimbangan nilai (the emotionally laden calue judgment approach) yang kebanyakan diikuti oleh badan-badan legislatif. Dikemukakan pula bahwa perkembangan a policy oriented approach ini lamban datangnya karena proses legislatif belum siap untuk pendekatan yang demikian. Masalahnya antara lain terletak pada sumber-sumber keuangan untuk melakukan orientasi ilmiah itu. Kelembagaan seperti yang dikemukakan di atas ditambah dengan proses kriminalitas yang berlangsung terus tanpa didasarkan pada penilaianpenilaian yang teruji dan tanpa didasarkan pada penilaian-penilaian yang teruji dan tanpa suatu evaluasi mengenai  pengaruhnya terhadap keseluruhan sistem, menurut Bassiouni 55 mengakibatkan timbulnya dua hal:
a. Krisis kelebihan kriminalitas (the crisis of evercriminalization);
b. Krisis kelampauan batas dari pidana (the cirisis of overreach of the
    criminal law)
Krisis yang pertama menyangkut mengenai banyaknya atau melimpahnya jumlah kejahatan dan perbuatan-perbuatan yang dikriminalisasikan, sedangkan yang kedua mengenai usaha mengendalikan kejahatan dengan tidak menggunakan sanksi pidana yang efektif. Pendekatan kebijakan seperti dikemukakan di atas jelas merupakan upaya yang rasional, karena karekteristik dari suatu politik kriminal yang rasional tidak lain dari penerapan metode-metode yang rasional. Menurut G.P. Hoefnagel56 suatu politik kriminal harus rasional, kalau tidak demikian tidak sesuai dengan definisi sebagai a rational total of the responses to crime.
Disamping itu, hal ini penting karena konsepsi mengenai kejahatan dan kekuasaan atau proses untuk melakukan kriminalisasi sering ditetapkan secara rasional. Pendekatan yang rasional memang merupakan pendekatan yang seharusnya melekat pada setiap langkah kebijakan. Hal ini merupakan konsekuensi logis, karena seperti dikatakan oleh Soedarto bahwa dalam melaksanakan pemilihan dari sekian banyak alternatif yang dihadapi. Ini berarti bahwa suatu politik kriminal dengan menggunakan hukum pidana harus merupakan suatu usaha atau langkah-langkah yang dibuat dengan sengaja dan sadar. Dengan demikian, memilih dan menetapkan hukum pidana sebagai sarana untuk melakukan penanggulangan kejahatan harus benar-benar telah mempertimbangkan semua faktor yang dapat mendukung berfungsinya atau bekerjanya hukum pidana dalam kenyataan. Jadi diperlukan pula pendekatan yang fungsional yang merupakan pendekatan yang melekat (inherent) pada setiap kebijakan yang rasional.
Keputusan Seminar Kriminologi ke-3 tahun 1976 di Semarang, menetapkan, bahwa hukum pidana hendaknya dipertahankan sebagai salah satu alat untuk social defence dalam arti melindungi masyarakat terhadap kejahatan dengan memperbaiki atau memulihkan kembali (rehabilitate) si pembuat tanpa mengurangi keseimbangan kepentingan perorangan (pembuat) dan masyarakat (Keputusan, III.b.).
Pemilihan pada konsepsi perlindungan masyarakat inipun membawa konsekuensi pada pendekatan yang rasional, seperti dikemukakan oleh J. Andenaes sebagai berikut :
Apabila orang mendasarkan hukum pidana pada konsepsi perlindungan masyarakat, maka tugas selanjutnya adalah mengembangkannya serasional mungkin. Hasil maksimal harus dicapai dengan biaya yang minimal bagi masyarakat dan minimal penderitaan bagi individu. Dalam hal demikian orang harus mengendalikan pada hasil penelitian ilmiah mengenai sebabsebab kejahatan dan efektifitas dari bermacam-macam sanksi (if one bases the penal law on the concept of social defence, the task will then be to develop it as rationally as possible. The maximum results must be achieved with the minimum of expense to society and the minimum of suffering for the individual. In this task, one must build upon the results of scientific research into the causes of crime and the effectiviness of the various forms of sanction).
Dari pendapat J. Andenaes di atas, jelas terlihat bahwa pendekatan kebijakan yang rasional berkaitan erat pula dengan pendekatan ekonomis dalam penggunaan hukum pidana. Pendekatan ekonomis di sini tidak hanya dimaksudkan untuk mempertimbangkan antara biaya atau beban yang ditanggung masyarakat (dengan dibuat/digunakannya hukum pidana) dengan hasil yang ingin dicapai, tetapi juga dalam arti mempertimbangkan efektifitas hukum pidana itu sendiri.
Menurut Bassiouni, tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh hukum pidana pada umumnya terwujudnya dalam kepentingan-kepentingan sosial yang mengandung nilai-nilai tertentu yang dilindungi. Kepentingan-kepentingan sosial tersebut sebagai berikut :
a. Pemeliharaan tertib masyarakat;
b. Perlindungan warga masyarakt dari kejahatan, kerugian atau bahayabahaya yang dapat  dibenarkan yang dilakukan oleh orang lain;
c. Memasyarakatan kembali (resosialisasi) para pelanggar hukum;
d.Memelihara atau mempertahankan integritas pandangan-pandangan dasar tertentu mengenai keadilan sosial, martabat kemanusiaan dan keadilan individu.
Selanjutnya ditegaskan, bahwa sanksi pidana harus disepadankan dengan kebutuhan untuk melindungi dan mempertahankan kepentingan-kepentingan ini. pidana hanya dibenarkan apabila ada suatu kebutuhan yang berguna bagi masyarakat. Suatu pidana yang tidak diperlukan, tidak dapat dibenarkan dan berbahaya bagi masyarakat. Berdasarkan pandangan yang demikian, Bassiouni menyatakan, bahwa disiplin hukum pidana bukan hanya pragmatis, tetapi juga disiplin yang berdasar dan berorientasi pada nilai (not only pragmatic but also value based and value oriented) Dengan demikian dapat dinyatakan, bahwa dalam melaksanakan politik pada hukum pidana diperlukan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan yang lebih bersifat pragmatis dan juga pendekatan yang berorientasi pada nilai.
Menurut Muladi dan barda Nawawi Arief  antara pendekatan kebijakan dan pendekatan yang berorientasi pada nilai jangan terlalu dilihat sebagai suatu dichotomy, karena dalam pendekatan kebijakan sudah seharusnya juga dipertimbangkan faktor-faktor nilai. Sebab, kebijakan kriminal tidak dapat dilepaskan sama sekali dari masalah nilai. Terlebih lagi bagi Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang bertujuan membentuk “manusia Indonesia seutuhnya”. Apabila hukum pidana dan pidana akan digunakan sebagai sarana untuk mencapai tujuan tersebut, maka pendekatan humanis harus pula diperhatikan. Hal ini penting, tidak hanya karena kejahatan itu pada hakikatnya merupakan masalah kemanusiaan (human problem), tetapi juga karena hakikatnya pidana itu sendiri mengandung unsur penderitaan yang dapat menyerang kepentingan atau nilai yang paling berharga bagi manusia.
Pendekatan humanis dalam penggunaan sanksi pidana tidak hanya berarti bahwa pidana yang dikenakan kepada si pelanggar harus sesuai dengan nilainilai kemanusiaan yang beradab, tetapi juga harus dapat membangkitkan kesadaran si pelanggar akan nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai pergaulan hidup bermasyarakat. Sehubungan dengan hal terakhir ini, patut kiranya dikemukakan konsepsi kebijakan pidana dari aliran social defence (The Penal Policy of Social Defence) menurut Marc Ancel yang bertolak dari konsepsi pertanggung jawaban yang bersifat “perlindungan masyarakat” atau social defence yang dikaitkan dengan masalah rehabilitasi dan resosialisasi sudah sering digunakan di Indonesia, seperti yang terlihat (misalnya) dalam Seminar Kriminologi ke-3 tahun 1976 dan Simposium Pembaharuan Hukum Pidana Nasional pada tahun 1980 di Semarang. Menurut marc Ancel, pertanggung jawaban yang didasarkan pada kebebasan individu merupakan kekuatan penggerak yang utama dari proses penyesuaian sosial (the main driving force of the process of social readaptation). Diakui olehnya, bahwa masalah determinisme dan indeterminisme merupakan problem filosofis yang berada diluar ruang lingkup politik hukum pidana dan pidana, akan tetapi ditegaskan, bahwa politik hukum pidana yang modern hampir selalu mensyaratkan adanya kebebasan individu.
Tujuan utama dari setiap perlakuan readaptasi sosial harus diarahkan pada perbaikan pengusaan diri sendiri. Oleh karena itu, masalah pertanggung jawaban seharusnya tidak boleh diabaikan, melainkan justru harus diperkenalkan kembali sebagai suatu pertanggung jawaban pribadi. Reaksi terhadap perbuatan anti sosial justru harus dipusatkan pada konsepsi pertanggungjawaban pribadi ini. Pertanggungjawaban yang dimaksud (oleh Marc Ancel) berlainan dengan pandangan klasik yang mengartikannya sebagai “pertanggungjawaban moral secara murni” (the purely moral responsibility) dan berbeda pula dengan pandangan positivist yang mengartikannya sebagai “pertanggungjawaban menurut hukum atau pertanggungjawaban obyektif” (legal ar objective vieus of responsibility) menurut marc Ancel menekankan pada perasaan kewajiban moral pada diri sendiri (individu) dan oleh karena itu mencoba untuk merangsang ide tanggung jawab / kewajiban sosial terhadap anggota masyarakat yang lain dan juga mendorongnyta untuk menyadari moralitas sosial. Pengertian yang demikian merupakan konsekuensi dari pandangan marc Ancel yang melihat kejahatan sebagai gejala kemanusiaan, yaitu kejahatan merupakan suatu manifestasi dari kepribadian si pelaku60 Lebih lanjut dikemukakan, bahwa perlu kiranya pendekatan sebagai a personal disease atau a human or invidually phatological phenomenon diseimbangkan dengan pendekatan humanis yang bertolak dari konsepsi kejahatan sebagai a socially phatologycal phenomenon.
Penggunaan sarana penal atau (hukum) pidana dalam suatu politik criminal memang bukan merupakan posisi strategis dan memang banyak menimbulkan persoalan. Sebaliknya bukan pula suatu langkah kebijakan yang dapat disederhanakan dengan mengambil sikap ekstrim untuk menghapuskan saja hukum pidana dan pidana sama sekali. Persoalannya tidak terletak pada masalah eksistensinya. Tetapi terletak pada masalah kebijakan penggunaannya. Oleh karena itu, sebagai suatu masalah kebijaksan/politik, sudah barang tentu penggunaannyapun tidak dilakukan seara absolut, karena pada hakikatnya tidak ada absolutisme dalam bidang kebijakan/politik.
C. Tahap Pelaksanaan Politik Hukum Pidana
Upaya penanggulangannya kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian dari upaya penegakan hukum. Oleh karena itu sering pula dikatakan, bahwa politik atau kebijakan hukum pidana merupakan bagian pula dari politik atau kebijakan penegakan hukum. Telah dikemukakan sebelumnya, bahwa dilihat sebagai suatu proses kebijakan, pelaksanaan politik hukum pidana pada hakikatnya merupakan penegakan kebijakan melalui beberapa tahap :
a.Tahap formulasi, yaitu tahap penegakan/pelaksanaan politik hukum pidana inabstracto oleh badan pembuat undang-undang. Tahap ini sering pula disebut tahap kebijakan legislatif.
b.Tahap aplikasi, yaitu tahap penerapan politik hukum pidana oleh para penegak hukum, mulai dari kepolisian sampai dengan pengadilan. Tahap kadua ini sering pula disebut tahap kebijakan yudikatif.
c.Tahap aksekusi, yaitu tahap pelaksanaan politik hukum pidana secara konkret oleh aparat pelaksana pidana. Tahap ini sering pula disebut tahap kebijakan aksekutif atau administrasi.
Ketiga tahap tersebut dilihat sebagai suatu usaha atau proses rasional yang sengaja direncanakan untuk mencapai tujuan tertentu, jelas harus merupakan suatu jalinan mata rantai aktivitas yang merupakan perwujudan dari kebijakan nasional. Jadi tegasnya, kebijakan (pembangunan) nasional harus diusahakan terwujudnya pada ketiga tahap pelaksanaan politik hukum pidana itu. Inilah makna dan konsekuensi dari pernyataan bahwa politik hukum pidana merupakan bagian integral dari politik sosial seperti diuraikan di muka. Jadi tersimpul di dalamnya pengertian social engineering by “kemampuan yang lebih” atau “kemampuan plus” dari setiap aparat penegak hukum pidana, yaitu tidak hanya kemampuan di bidang yuridis, tetapi juga kesadaran, pengetahuanb dan kemampuanyang memadai di bidang pembangunan, sulit diharapkan berhasilnya “pembagunan masyarakat dengan hukum pidana”. Disamping itu, karena pambangunan mengandung berbagai dimensi (multi dimensi), maka juga peningkatan berbagai pengetahuan (multi disiplin).
Selain yang telah dikemukakan diatas, agar politik hukum pidana dapat menunjang progrm-program pembangunan, maka patut diperhatikan Guiding Principle yang dikemukakan oleh Kongres PBB ke-7, antara lain berbunyi : “Bahwa perlu dilakukan studi dan penelitian mengenai hubungan timbal balik antara kejahatan dengan beberapa aspek tertentu dari pembangunan”. Ditegaskan dalam Guiding Principle tersebut. “Bahwa studi itu sejauh mungkin dilakukan dari perspektif interdisipliner dan ditujukan untuk perumusan kebijakan dan tindakan praktis”. Studi demikian dimaksudkan untuk meningkatkan sifat responsif dari kebijakan pencegahan kejahatan dan peradilan pidana dalam rangka merubah kondisi-kondisi sosial, ekonomi, budaya dan politik. Dengan demikian, pengatahuan yang memadai dari pada penegak hukum mengenai beberapa aspek dari pembangunan dan hubungan timbal baliknya dengan kejahatan, tidak hanya penting dalam merumuskan politik hukum pidana pada tahap formulasi, tetapi juga pada tahap aplikasi yang lebih bersifat operasional. Dalam hubungan dengan tahap aplikasi, sangat diharapkan pehatian para penegak hukum terhadap Guiding Principle dari kongres PBB ke-7 yang menyatakan : “Kebijakan pencegahan kejahatan dan peradilan pidana harus memperhitungkan sebab-sebab sosio ekonomi” (Policies for crime prevention and criminal justice should take into account the structural including socio economic causes of injustice). Ini berarti pengetahuan yang memadai dari penegak hukum mengenai sebab-sebab ketidakadilan atau ketimpangan (termasuk sebab-sebab terjadinya kejahatan) yang bersifat struktural sebagai dampak dari kebijakan pembangunan, dapat dipertimbangkan sebagai salah satu faktor untuk menyertakan suatu perbuatan secara material tidak melawan hukum dan atau sebagai suatu alasan memperingan pemidanaan.






BAB IV
PENUTUP

A. Simpulan
Pengertian politik hukum pidana adalah salah satu bentuk dari politik krimininal yang menggunakan jalur hukum pidana. Oleh karena itu dapatlah diartikan bahwa politik hukum pidana adalah upaya penanggulangan kejahatan secara rasional oleh masyarakat dan Negara yang dilakukan dengan menggunakan hukum pidana. Hal ini dilakukan dengan melakukan re-evaluasi, reorientasi dan reformasi peraturan hukum pidana positip baik yang berupa kodifikasi maupun peraturan hukum pidana yang tersebar di luar KUHP. Dalam hal ini maka kegiatankegiatan depenalisasi, dekriminalisasi dan kriminalisasi merupakan hal yang sangat penting dalam politik hukum pidana. Selanjutnya Bahwa pelaksanaan politik hukum pidana berarti usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa yang akan datang.
Pendekatan yang dilakukan oleh politik hukum pidana dalam rangka penanggulangan kejahatan melalui :
1. Pendekatan Integral antara kebijaksanaan penal dan non penal.
Usaha yang rasional untuk mengendalikan atau menanggulangi kejahatan ( politik criminal ) sudah barang tentu tidak hanya menggunakan sarana penal saja ( hukum pidana ) tetapi dapat juga menggunakan sarana non penal dengan cara penyantunan dan pendidikan sosial dalam rangka pengembangan tanggung jawab sosial warga masyarakat. Tujuan utama dari sarana non penal ini adalah untuk memperbaiki kondisi – kondisi sosial masyarakat.
2.   Pendekatan Kebijakan dan Pendekatan Nilai
sanksi pidana harus disepadankan dengan kebutuhan untuk melindungi dan mempertahankan kepentingan-kepentingan ini. pidana hanya dibenarkan apabila ada suatu kebutuhan yang berguna bagi masyarakat. Suatu pidana yang tidak diperlukan, tidak dapat dibenarkan dan berbahaya bagi masyarakat. Berdasarkan pandangan yang demikian, Bassiouni menyatakan, bahwa disiplin hukum pidana bukan hanya pragmatis, tetapi juga disiplin yang berdasar dan berorientasi pada nilai (not only pragmatic but also value based and value oriented) 58 Dengan demikian dapat dinyatakan, bahwa dalam melaksanakan politik pada hukum pidana diperlukan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan yang lebih bersifat pragmatis dan juga pendekatan yang berorientasi pada nilai. antara pendekatan kebijakan dan pendekatan yang berorientasi pada nilai jangan terlalu dilihat sebagai suatu dichotomy, karena dalam pendekatan kebijakan sudah seharusnya juga dipertimbangkan faktor-faktor nilai. Sebab, kebijakan kriminal tidak dapat dilepaskan sama sekali dari masalah nilai.
Ada pun ketiga tahap dalam pelaksanaan politik hukum pidana adalah :
a.Tahap formulasi, yaitu tahap penegakan/pelaksanaan politik hukum pidana inabstracto oleh badan pembuat undang-undang. Tahap ini sering pula disebut tahap kebijakan legislatif.
b.Tahap aplikasi, yaitu tahap penerapan politik hukum pidana oleh para penegak hukum, mulai dari kepolisian sampai dengan pengadilan. Tahap kadua ini sering pula disebut tahap kebijakan yudikatif.
c.Tahap aksekusi, yaitu tahap pelaksanaan politik hukum pidana secara konkret oleh aparat pelaksana pidana. Tahap ini sering pula disebut tahap kebijakan aksekutif atau administrasi.