Senin, 17 Oktober 2011

Contoh Jawaban dalam Acara Perdata

                                                                               Kepada
                                                                               Yth. Ketua Majelis Hakim dalam Perkara Perdata 
                                                                                No.334/Pdt/G/2009/PN.Bdg
                                                                                di Bandung

Hal      :  Jawaban
Dengan Hormat.
            Jerri, SH. & ASS, PENGACARA DAN KONSULTAN HUKUM, berkantor di Jl. Cihampelas No.8 Bandung
Dalam hal ini selaku kuasa Tergugat dalam perkara No.334/Pdt/2009/PN.Bdg di Pengadilan Negeri Kelas I Badung, dalam hal ini membuat dan menandatangani jawaban sebagai berikut :

DALAM EKSEPSI

1.      Surat Kuasa Penggugat bukan Surat Kuasa Khusus (Istimewa) dan Tidak Sempurna
Bahwa dalam Surat Kuasa Khusus tertanggal 20 Juli 2009 berisi :
KHUSUS
Atas nama dan untuk kepentingan Pemberi Kuasa :
MEMBERIKAN BANTUAN HUKUM, mengurus dan menyelesaikan permasalahan perbuatan merugikan Penggugat.
Alasan Hukumnya.
Bahwa yang dimaksud dengan Surat Kuasa Khusus adalah Surat Kuasa yang diharuskan dipakai dalam persidangan di Pengadilan Negeri, sebagaimana dikehendaki oleh Undang-Undang yaitu Pasal 123 ayat 1 HIR yang oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam prakteknya telah memberikan petunjuk dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Republik ü  Indonesia No.2 Tahun 1959 tertanggal 19 Januari 1959 yang berbunyi sebagai berikut :
“Pasal 123 ayat 1 HIT,”Kedua belah pihak kalau mau boleh dibantu atau diwakili oleh juru kuasa, maka maksud itu dikuasakan dengan surat kuasa istimewa ………….. dst”
ü  Bahwa apabila diteliti secara cermat Surat Kuasa Penggugat termaksud tidak mencantumkan secara rinci Pengadilan negerimana gugatan tersebut harus diajukan.
2.      Bahwa penunjukkan pemberian Kuasa tidak dicantumkan dengan jelas dan tepat dalam Surat Kuasa tersebut.
Alasan Hukumnya.
ü  Bahwa dalam Surat Gugatan yang tercatat dalam register perkara No. 334/Pdt/G/2009/PN.Bdg, Penggugat menyebutkan kapasitasnya sebagai pribadi pemilik tanah dan bangunan tersebut, sedang yang dilakukan tergugat adalah melakukan kontrak perjanjian sewa dengan orant tua kandung Penggugat.

 

DALAM POKOK PERKARA

1.      Bahwa tergugat dengan tegas menolak seluruh dalil gugatan Penggugat kecuali yang diakui secara tegas oleh Tergugat.
2.      Bahwa benar Tergugat benar telah menguasai sebidang tanah berikur bangunan di tempat yang dikenal beralamat Jl.Mekarsari 23 Soreang, dan pengasaan tersebut atas sebuah perjanjian Sewa yang dilakukan dengan Orang Tua dari Tn. Abdul.
3.      Bahwa benar penguasaan tersebut telah berlangsung sejak tahun 1998 sampai dengan sekarang.
4.      Tidak benar dan tidak beralasan hukum sama sekali dalil gugatan Penggugat Poin 2 dalam posita gugatan.
Alasan Hukumnya.
ü  Bahwa sesuai dengan Surat dari Penggugat tertanggal 22 Juli 2009, Bahwa Tergugat melakukan Kontrak Perjanjian Sewa sebuah bidang tanah beserta rumah yang di kenal ebralamat Jl.Mekarsari 23 Soreang dengan Orag Tua Tuan Abdul dengan Pembayaran dilakukan dengan mentransfer uang ke Rekeneing Bank bjb Cabang Dayeuh Kolot atas nama Orang Tua Tuan Abdul.
ü  Bahwa selama status Tn.Andi sebagai penyewa telah banyak melakukan renovasi rumah dengan biaya yang tidak sedikit.
ü  Bahwa dengan demikian gugatan Penggugat poin 2 dalam posita gugatan harus ditolak atau beralasan atau dinyatakan setidak-tidaknya tidak dapat diterima.
5.      Tidak tepat dan tidak beralasan hukum sama sekali dalil gugatan Penggugat Poin 4 dalam posita gugatan.
Alasan Hukumnya.
ü  Bahwa dengan demikian gugatan Penggugat poin 4 dalam posita gugatan harus ditolak atau beralasan atau dinyatakan setidak-tidaknya tidak dapat diterima.
6.      Bahwa tidak ada kerugian yang dialami oleh Penggugat dengan nilai transaksi sebesar 500.000.000.- (lima ratus juta rupiah) sebagaimana yang disebutkan.
Bahwa berdasarkan dalil-dalil yang telah diuraikan diatas, maka mohon kiranya Majelis Hakim berkenan mempertimbangkan serta selanjutnya memutuskan : 

DALAM EKSEPSI

ü  Menerima seluruhnya dalil-dalil eksepsi Tergugat.
ü  Menerima seluruhnya eksepsi Tergugat.

DALAM POKOK PERKARA

ü  Menerima seluruhnya dalil-dalil jawaban Tergugat.
ü  Menolak gugatan Penggugat seluruhnya.


 Bandung, 16 Agustus 2009
   Hormat kami     , 
                                                                                                                                          

   JERRI, SH    

 
 

Sejarah HAM


SEJARAH LAHIRNYA HAK ASASI MANUSIAN

Ham menurut UU No.39 tahun 1999 adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dari keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrahnya yang wajib dihormati,dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara,hukum dan pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan.
1.  Hak Asasi Manusia Di Yunani
Filosof yunani seperti Socrates (470-399 sm) dan Plato (428-348SM) meletakan dasar bagi perlindungan dan jaminan diakuinya hak-hak manusia.Konsepsinya menganjurkan masyarakat untuk melakukan sosial kontrol kepada penguasa yang lazim dan tidak mengakui nilai-nilai keadilan dan kebenaran.Aris toteles (348-322SM) mengajarkan pemerintah harus mendasarkan kekuasaannya pada kemauan dan kehendak warga negarannya.

2.   Hak asasi Manusia di Inggris
Inggris disebut juga negara pertama di dunia yang memperjuangkan HAM,terbukti dengan ditemukannya dokumen kenegaraan yang berhasil disusun dan disahkan.Dokumen-dokumen tersebut sbb:
Ø  MAGNA CHARTA
Pada awal abad ke XII raja Richard yang dikenal adil telah diganti dengan Raja John Lackland yang bertindak sewenang-wenang kepada rakyat maupun para bangsawan,tindakan tersebut mengakibatkan rasa tidak puas dari para bagsawan,yang akhirnya berhasil membuat perjanjian dengan Raja Jhon yangdisebut Magna Charta / Piagam agung. Dicetuskan tanggal 15 Juni 1215 yang prinsip dasarnya memuat pembatasan kekuasaan raja dan hak asasi manusialebih penting dari pada kedaulatan raja.Piagam tersebut menjadi lambang munculnya perlindungan terhadap hak asasi karena mengajarkan bahwa hukum dan Undang-undang derajadnya lebih tinggi dari pada kekuasaan raja.

Isi Magna Charta adalah SBB :
·         Raja beseerta keturunanya berjanji akan menghormati kemerdekaan,hak,dan kebebasan Gereja Inggris.
·         Raja berjanji kepada penduduk kerajaan yang bebas untuk memberikan hak-hak sebagai berikut :
o   Para petugas keamanan dan pemungut pajak akan menghormati hak-hak penduduk
o   Polisi ataupun jaksa tidak dapat menuntut seseorang tanpa bukti dan saksi yang sah
o   Seorang yang bukan budak tidak akan ditahan,ditangkap dinyatakan bersalah tanpa alasan hukum sebagai dasar tindakannya
o   Apabila seseorang tanpa perlidungan hukum sudah terlanjur ditahan ,Raja berjanji akan mengoreksi kesalahannya.

Ø  PETITION OF RIGHTS
Pada dasarnta berisi pertanyaan-pertanyaan mengenai hak rakyat beserta jaminannya.Petisi ini diajukan oleh bangsawan kepada Raja di depan Parlemen pada tahun 1628.Isinya secara garis besar menuntut hak sbb:
·         Pajak dan pungutan istimewa harus disertai pungutan
·         Warga negara tidak boleh dipaksakan menerima tentara di rumahnya
·         Tentara tidak boleh menggunakan hukum perang dalam keadaan damai
Ø  HOBEAS CORPUS ACT
Adalah Undang-undang yang mengatur tentang penahanan seseorang dibuat pada tahun 1679.Isinya sebagai berikut :
·         Seseorang yang ditahan segera diperiksa dalam 2 hari setelah penahanan
·         Alasan penahanan seseorang harus disertai bukti yang sah menurut hukum

Ø  BILL OF RIGHTS
Merupaqkan undang-undang yang dicetuskan tahun 1689 dan diterima parlemen inggris ,yang isinya mengatur tentang :
·         Kebebasan dalam pemilihan anggota parlemen
·         Kebebasan berbicara dan mengeluarkan pendapat
·         Pajak,undan-undang dan pembentukan tentara tetap harus seijin parlemen
·         Hak warga negara untuk memeluk agama menurut kepercayaan masing-masing
·         Parlemen berhak mengubah keputusan raja

3.   Hak Asasi manusia Di Amerika Serikat
Pemikiran jhon locke (1632-1704) yang merumuskan hak-hak alam,seperti hak atas hidup,kebebasan,dan milik (life,liberty,and property) mengilhami sekaligus menjadi pegangan bagi rakyat amerika sewaktu memberontak melawan penguasa inggris pada tahun 1776.Pemikiran jhon locke ini terlihat jelas dalam Deklarasi kemerdekaan Amerika serikat yang dikenal dengan DECLARATION OF  INDEPENDENCE OF UNITED STATES.
Revolusi Amerika dengan Declaration of independence tanggal 4 juli 1776 suatu deklarasi kemerdekaan yang diumumkann secara aklamasi oleh 13 Ne3garaq bagian merupakan pula piagam hak asasi manusia karena mengandung pernyataan “ Bahwa sesungguhnya semua bangsa diciptakan sama derajad oleh maha pencipta.Bahwa semua manusia dianugrahi oleh penciptanya hak hidup,kemerdekaan,dan kebebasan untuk menikmati kebahagiaan.John locke mengambarkan keadaan naturalis,ketiak manusia telah memiliki hak dasar secara perorangan.dalam keadaan bersama sama hidup lebih maju seperti yang  disebut sebagai dengan status civilis,lock berpendapat bahwa manusia yang berkedudukan sebagai warga negara hak-hak dasarnya dilindungi oleh negara.
Declaration of independence di amerika menempatkan amerika sebagai negara yang memberi perlindungan dan jaminan hak-hak asasi manusia dalam kontitusinya,kendatipun secara resmi rakyat perancis sudah lebih dulu memulainya sejak masa Rousseau.Presiden Amerika serikat yang terkenal sebagai pendekar hak asasi manusia adalah Abraham lincoln,kemudian Woodrow wilson dan Jimmy carter.
Amanat Presiden Frangklin D.Roosevelt tentang empat kebebasan yang diucapkannya di depan Kongres amerika serikat tanggal 6 Juni 1941 yakni :
·         Kebebasan untuk berbicara dan melahirkan pikiran ( freedom of speech and expression )
·         Kebebasan memilih agama sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya ( Freedom of religion )
·         Kebebasan dari rasa takut ( Freedom from fear )
·         Kebebasan dari kekurangan dan kelaparan ( Freedom from want )
Empat kebebasan ROOsevelt ini pada hakikatnya merupakan tiang penyangga hak asasi manusia  yang paling pokok dan mendasar.

4.   Hak Asasi Manusia Di Perancis
Perjuangan Hak asasi manusia di perancis dituangkan dalam suatu naskah         pada awal revolusi perancis.Perjuangan itu dilakukan untuk melawan rezim lama.naskah tersebut dikenal dengan DECLARATION DES DROITS DE L’ HOMME ET DU CITOYEN yaitu pernyataan tentang hak –hak manusia dan warga negara.Pernyataan yang dicetukan tahun 1789 ini mencanangkan Hak atas kebebasan, Kesamaan,persaudaan atau kesetiakawanan (Liberte,Egalite,Fraternite).Lafayette merupakan pelopor penegakan hak asasi manusia di masyarakat Perancis yang berada di Amerika ketika Revolusi Amerika meletus dan mengakibatkan tersusunnya DECLARATION DES DROITS DE L’ HOMME ET DU CITOYEN. Tahun 1791 semua hak hak manusi dicantumkan seluruhnya di dalam konstitusi perancis yang kemudian ditambah dan diperluas lagi tahun 1793 dan 1848 juga dalam kontitusi tahun 1793 dan 1795. Revolusi ini diprakarsai pemikir-pemikir besar seperti JJ.Rousseau,Voltaire,serta Montesquieu.
Hak asasi yang tersimpul dalam deklarasi itu antara lain:
·         Manusia dilahirkan merdeka dan tetap merdeka
·         Manusia mempunyai hak yang sama
·         Manusia merdeka berbuat sesuatu tanpa merugikan pihak lain
·         Warga negara mempunyai hak yang sama dan mempunyai kedudukan serta pekerjaan umum
·         Manusia tidak boleh dituduh dan ditangkap selain menurut undang-undang
·         Manusia mempunyai kemerdekaan agama dan kepercayaan
·         Manusia merdeka mengeluarkan pikiran
·         Adanya kemerdekaan surat kabar
·         Adanya kemerdekaan bersatu dan berapat
·         Adanya kemerdekaan berserikat dan berkumpul
·         Adanya kemerdekaan bekerja ,berdagang dan melaksanakan kerajinan
·         Adanya kemerdekaan rumah tangga
·         Adanya kemerdekaan hak milik
·         Adanya kemerdekaan lalu lintas
·         Adanya hak hidup dan mencari nafkah

5.         Sebelum Perang Dunia II
Bangkitnya sistem negara modern serta penyebaran industri dan kebudayaan Eropa ke seluruh dunia, telah berkembang serangkaian kebiasaan dan konvensi yang unik mengenai perlakuan manusiawi terhadap orang-orang asing. Konvensi itu, yang diberi nama “Hukum Internasional mengenai Tanggungjawab Negara terhadap Pelanggaran Hak-hak Orang Asing”, dapat dianggap mewakili perhatian awal yang besar terhadap promosi dan perlindungan hak asasi manusia di tingkat internasional. Para pendiri hukum internasional, khususnya Francisco de Vitoria (1486-1546), Hugo Grotius (1583-1645) dan Emmerich de Vattel (1714-1767), dari awal mereka menyadari bahwa semua orang, baik orang asing maupun bukan, berhak atas hak-hak alamiah tertentu, dan karenanya, mereka menekankan pentingnya memberi perlakuan yang pantas kepada orang-orang asing.
Abad ke-19 mulai menyingsing dengan jelas minat dan perhatian internasional terhadap perlindungan hak-hak warga negara. Perdamaian Westphalia (1648), yang mengakhiri Perang Tiga Puluh Tahun dan yang menetapkan asas persamaan hak bagi agama Katolik Roma dan Protestan di Jerman, telah membuka jalan ke arah itu.Satu setengah abad kemudian, sebelum Perang Dunia II, beberapa upaya yang patut dicatat sebagai tonggak-tonggak penting, walaupun pada pokoknya tidak berkaitan, dalam upaya menggalakkan perhatian terhadap warga negara melalui sarana hukum internasional mulai membentuk apa yang dewasa ini dinamakan “Hukum Hak Asasi Manusia Internasional”. Tonggak-tonggak penting itu antara lain, doktrin perlindungan negara terhadap orang asing, intervensi kemanusiaan, serta tonggak penting lainnya seperti akan dielaborasi lebih jauh dalam sub-sub bahasan di bawah ini:
v   Hak Asasi Manusia dan Hukum Internasional Tradisional
Hukum internasional hanya merupakan hukum yang mewadahi pengaturan tentang hubungan antara negara-negara belaka. Subyeknya, yakni hanya mencakup negara. Entitas-entitas yang lain, termasuk individu, hanya menjadi objek dari sistem itu, atau penerima manfaat (beneficiary) dari sistem tersebut. Individu, sebagai warga negara, tunduk sepenuhnya kepada kewenangan negaranya. Dalam arti ini, negara tentu dapat saja membuat ketentuan-ketentuan demi kepentingan warga negaranya (individu), namun ketentuan-ketentuan semacam itu tidak memberikan hak-hak substantif kepada individu yang dapat mereka paksakan melalui prosedur pengadilan. Negaralah yang membela hak atau kepentingan warga negaranya apabila mendapat perlakuan yang bertentangan dengan aturan atau perlakuan semenamena dari negara lainnya. Apa yang dikatakan di atas dikenal dengan doktrin “perlindungan negara terhadap orang asing” atau “state responsibility for injury to alliens”, yang dikenal dalam hukum internasional ketika itu. Berdasarkan doktrin hukum internasional itu, orang-orang asing berhak mengajukan tuntutan terhadap negara tuan rumah yang melanggar aturan. Biasanya, hal ini terjadi ketika seorang asing mengalami perlakuan sewenang-wenang di tangan aparat pemerintah, dan negara tersebut tidak mengambil tindakan apapun atas pelanggaran itu. Doktrin “perlindungan negara terhadap orang asing” tersebut, khususnya mengenai standar minimal dan kesamaan perlakuan, kemudian diambil alih oleh perkembangan-perkembangan dalam hukum hak asasi manusia internasional. Meskipun tujuan utama klaim negara semacam itu bukanlah untuk mendapatkan kompensasi bagi warga negaranya yang dirugikan, melainkan untuk membela hak-hak negara itu sendiri --yang secara tidak langsung telah dilanggar melalui perlakuan yang buruk terhadap warga negaranya.
v  Intervensi Kemanusiaan
Begitulah posisi individu dalam hukum internasional tradisional, yang sering ditandai menurut kebangsaannya. Berdasarkan dalil itu, negara-negara lain tidak mempunyai hak yang sah untuk melakukan intervensi dengan alasan melindungi warga negaranya, seandainya mereka diperlakukan dengan semena-mena. Suatu kekecualian terhadap dalil ini adalah apa yang disebut dengan doktrin “intervensi kemanusiaan”, yang memberikan hak yang sah untuk melakukan intervensi. Berdasarkan “hak” ini, negara dapat mengintervensi secara militer untuk melindungi penduduk atau sebagian penduduknya yang berada dalam suatu negara lain jika penguasa negara tersebut memperlakukan mereka sedemikian rupa sehingga “melanggar hak asasi mereka dan menggoncangkan hati nurani umat manusia.” Doktrin ini dipopulerkan oleh Hugo Grotius. Tetapi banyak yang meragukan apakah hak semacam ini benar-benar ada, yang jelas doktrin ini sering disalahgunakan oleh negara-negara kuat yang berusaha memperbesar pengaruh politik mereka. Sejumlah negara besar pada abad ke-19 memakai hak intervensi kemanusiaan yang diklaim itu, antara lain, untuk mencegah Kekaisaran Ottoman memusnahkan kaum minoritas di Timur Tengah dan di wilayah Balkan.


v  Penghapusan Perbudakan

Hal yang di bahas  di atas menggambarkan bahwa sebetulnya telah terjadi perkembangan kemanusiaan pada hukum internasional sepanjang abad ke-19 dan awal abad ke-20. Hal yang paling menonjol di antaranya adalah penghapusan perbudakan. Meskipun ekonomi perbudakan pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 secara komersial telah menjadi kurang menarik bagi negara-negara Eropa dibandingkan masa sebelumnya, gerakan penghapusan perbudakan itu juga dilandasi oleh motif kepedulian kemanusiaan yang besar. Praktek perbudakan mula-mula dikutuk dalam Traktat Perdamaian Paris (1814) antara Inggris dan Perancis, namum selang 50 tahun kemudian, Akta Umum Konferensi Berlin yang mengatur kolonisasi Eropa di Afrika menyatakan bahwa “perdagangan budak dilarang berdasarkan asas-asas hukum internasional”. Aksi internasional menentang perbudakan dan perdagangan budak itu terus berlanjut sepanjang abad 20. Liga Bangsa-Bangsa mengesahkan Konvensi Penghapusan Perbudakan dan Perdagangan Budak pada tahun 1926, dan melarang praktek perbudakan di wilayah-wilayah bekas koloni Jerman dan Turki yang berada di bawah Sistem Mandat (Mandates System) Liga Bangsa-Bangsa pada akhir Perang Dunia I.
Konvensi 1926 ini masih tetap merupakan dokumen internasional utama yang melarang praktek perbudakan, meskipun konvensi ini telah diamandemen dengan suatu Protokol pada tahun 1953, dan pada tahun 1956 ditambah dengan suplemen mengenai definisi tindakan-tindakan yang termasuk dalam perbudakan di zaman modern.
v   Palang Merah Internasional
Hal besar yang lain dalam kemajuan hukum kemanusiaan internasional pada paruh kedua abad ke-19 adalah pembentukan Komite Palang Merah Internasional (1863), dan ikhtiar organisasi itu dalam memprakarsai dua konvensi internasional untuk melindungi korban perang dan perlakuan terhadap tawanan perang, yang dikenal dengan Konvensi Jenewa. Prakarsa dan usaha-usaha Palang Merah Internasional ini berlanjut melewati dua perang dunia dan sesudahnya. Organisasi internasional ini telah mensponsori sejumlah konvensi yang tidak semata-mata menangani status dan perlakuan terhadap para prajurit yang berperang, tetapi juga perlakuan terhadap penduduk sipil pada masa perang dan pembatasan terhadap cara-cara berperang (conducts of war). Singkatnya organisasi internasional ini telah berjasa melahirkan apa yang sekarang kita kenal dengan hukum humaniter internasional (international humanitarian law).
v  Liga Bangsa-Bangsa
Setelah berakhirnya Perang Dunia I, masyarakat internasional membentuk Liga Bangsa-Bangsa (League of Nations) melalui Perjanjian Versailles. Selain membentuk Liga Bangsa-Bangsa (LBB), Perjanjian Versailles juga melahirkan apa yang dikenal sekarang dengan Organisaasi Perburuhan Internasional (International Labour Organization). Tujuan utama Liga tersebut adalah “untuk memajukan kerjasama internasional, mencapai perdamaian dan keamanan internasional”. Memang Liga tersebut tidak secara eksplisit membuat ketetapan mengenai perlindungan hak asasi manusia. Namun, dari dokumen pendiriannya, yang disebut Covenant of the League of Nations, negara-negara anggotanya diwajibkan untuk berupaya ke arah sasaran-sasaran kemanusiaan seperti menetapkan kondisi kerja yang manusiawi bagi individu, larangan perdagangan perempuan dan anak, pencegahan dan pengendalian penyakit, serta perlakuan yang adil terhadap penduduk pribumi dan wilayah jajahan. Liga ini memiliki tiga organ utama, yaitu Dewan, Majelis, dan Sekretariat.
Prsstasi terbesar Liga Bangsa-Bangsa bagi kemanusiaan adalah dibentuknya Sistem Mandat (Mandates System) di bawah organisasi ini. Dengan sistem ini, bekas koloni Jerman dan Turki yang kalah perang ditempatkan di bawah “perwalian” negara-negara pemenang perang. Jadi “suatu kepercayaan suci atas peradaban” diserahkan kepada negara-negara perwalian untuk menata dan menyiapkan wilayah-wilayah mandat tersebut sampai mereka memiliki pemerintahan sendiri. Bahasa paternalistik yang digunakan dalam Covenant boleh jadi kurang disukai sekarang ini, namun yang jelas, negara perwalian diharuskan menjamin tidak ada diskriminasi rasial dan agama di wilayah-wilayah yang berada di bawah perwaliannya. Ternyata, beberapa wilayah mandat mencapai kemerdekaannya sebelum Perang Dunia II. Wilayah-wilayah mandat yang belum mencapai kemerdekaan sebelum Perang Dunia II, seperti Namibia dan Palestina, selanjutnya dialihkan kepada sistem perwalian berdasarkan Piagam PBB.
Di samping itu, Liga Bangsa-Bangsa juga menjalankan fungsi pengawasan yang berkaitan dengan “kewajiban-kewajiban yang menjadi perhatian internasional”, sebuah prosedur dan mekanisme yang memungkinkan perlindungan bagi kelompok-kelompok minoritas. Dengan mekanisme ini, kelompok minoritas yang merasa dilanggar haknya dapat mengadukan masalahnya kepada Dewan Liga. Setelah mendapat pengaduan itu, Dewan dapat mengajukan masalah itu kepada Komite ad hoc untuk Kaum Minoritas, yang bertugas mendamaikan atau mencoba mencari penyelesaian masalah tersebut dengan cara membangun persahabatan antara para pihak yang bertikai. Liga Bangsa- Bangsa resmi dibubarkan pada 18 April 1946, enam bulan setelah Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) didirikan.
6.         Setelah Perang Dunia II
Doktrin dan kelembagaan hukum internasional yang dipaparkan di atas telah ikut  mendorong perubahan yang radikal dalam hukum internasional, yaitu berubahnya status individu sebagai subyek dalam hukum internasional. Individu tidak lagi dipandang sebagai obyek hukum internasional, melainkan dipandang sebagai pemegang hak dan kewajiban. Dengan status ini, maka individu dapat berhadapan dengan negaranya sendiri di hadapan Lembaga-Lembaga Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa Bangsa. Perubahan ini dipercepat dengan meledaknya Perang Dunia II yang memberikan pengalaman buruk bagi dunia internasional. Agar tidak mengulangi pengalaman yang sama, masyarakat internasional membangun konsensus baru yang lahir dalam bentuk norma, doktrin, dan kelembagaan baru dalam hukum internasional. Berikut ini akan dibahas norma, doktrin, dan kelembagaan hukum internasional yang lahir pada periode pasca Perang Dunia II yang melahirkan hukum hak asasi manusia internasional.
v  Hak Asasi Manusia Internasional Modern
Hukum internasional yang lama (tradisional) telah berhasil mengembangkan berbagai doktrin dan kelembagaan yang dirancang dan ditujukan untuk melindungi berbagai kelompok orang, mulai dari kaum budak, kaum minoritas, bangsa-bangsa pribumi, orang-orang asing, hingga tentara (combatants). Dari perkembangan hukum dan kelembagaan inilah kemudian terbangun landasan konseptual dan kelembagaan hukum hak asasi manusia internasional kontemporer.Karena itu, kita tidak bisa memahami dengan mendalam hukum hak asasi manusia internasional saat ini tanpa didahului oleh pemahaman yang cukup tentang akar-akar historis yang melahirkannya itu. Sangat berbeda dengan doktrin dan kelembagaan yang mendahuluinya, hukum hak asasi manusia internasional modern menempatkan individu sebagai subyeknya. Individu ditempatkan sebagai pemegang hak (right-holders) yang dijamin secara internasional, semata-mata karena ia adalah individu, bukan karena alasan kebangsaannya dari suatu negara. Justru sebaliknya, status negara dalam hukum yang baru ini ditempatkan sebagai pemegang kewajiban (duty-holders). Jadi relasi antara pemegang hak dan kewajiban itulah yang menjadi pokok perhatian hukum internasional yang baru ini. Relasi keduanya ini kemudian diwadahi dalam struktur kelembagaan yang baru, yang didesain oleh PBB, melalui berbagai macam mekanisme atau prosedur pengaduan dan pemantauan hak asasi manusia dalam sistem PBB. Prosedur dan mekanisme yang dimaksud, lebih jauh akan dibahas pada bab-bab berikut dalam buku ini.
Hukum internasional yang baru itu tumbuh dan berkembang dari perjanjian-perjanjian internasional hak asasi manusia yang terus meningkat sejak 1948, selain berasal dari kebiasaan dan doktrin internasional. Peningkatan pada jumlah instrumeninstrumen hak asasi manusia internasional diiringi pula dengan semakin banyaknya jumlah negara yang mengakui dan terikat dengannya. Hal itu berarti semakin banyak negara yang tunduk pada pengawasan internasional yang dibangun berdasarkan hukum hak asasi manusia internasional tersebut. Implikasinya adalah bahwa eksklusivitas kedaulatan negara menjadi berkurang, dan negara tidak dapat lagi mengklaim dengan absah bahwa masalah hak asasi manusia sepenuhnya merupakan urusan domestiknya.
v  Hak asasi manusia oleh PBB
Setelah perang dunia ke dua mulai tahun 1946 disusunlah rancanagn piagam hak asasi manusia oleh organisasi kerja sama untuk sosial ekonomi Perserikatan Bangsa Bangsa tgerdiri dari 18 anggota.PBB membentuk komisi HAM ( Commission Of human rights ) . sidang dimulai bulan januari 1947 di bawah pimpinan Ny.Eleanor Rossevelt dua tahun kemudian tanggal 10 desember 1948 sidang PBB dilaksanakan di istana Chaillot ,Paris menerima bauk hasil kerja panitia tesebut .Karya itu berupa UNIVERSAL DECLARATION OF HUMAN RIGHTS atau pernyataan sedunia tentang hak asasi manusia terdiri dari 30 pasal ,dari 58 negara yang terwakil dalam sidang tersebut 48 negara menyetujui,8 negara abstein,dan 2 negara absen.Oleh karna itu setiap tanggal 10 desember diperingati sebagai hari Hak Asasi manusia.
Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sebagai sebuah traktat multilateral yanng mengikat secara hukum semua negara anggota PBB, Piagam itu memuat dengan eksplisit pasal pasalmengenai perlindungan hak asasi manusia. Dalam muka dimahnya tertera tekad bangsa-bangsa yang tergabung dalam PBB untuk “menyatakan kembali keyakinan pada hak asasi manusia, pada martabat dan nilai manusia”. Pasal 1 (3) mencantumkan bahwa salah satu tujuan PBB adalah “memajukan dan mendorong pernghormatan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan dasar bagi semua orang tanpa membedakan ras, jenis kelamin, bahasa, atau agama”. Selanjutnya dalam Pasal 55 ditegaskan pula, bahwa PBB “harus memajukan ... penghormatan universal terhadap, dan ketaatan kepada, hak asasi manusia dan kebebasan dasar bagi setiap orang”. Hal ini diperkuat lebih lanjut oleh Pasal 56, yang menyatakan bahwa semua anggota PBB “berjanji akan mengambil tindakan bersama dan sendiri-sendiri ... bagi tercapainya tujuan-tujuan yang dinyatakan dalam Pasal 55. Jadi, internasionalisasi hak asasi manusia dimulai dengan Piagam PBB tersebut.
Memang terdapat perbedaan pandangan berkenaan dengan karakteristik legal dari kewajiban Piagam tersebut.Beberapa ahli hukum berargumentasi bahwa persyaratan memajukan penghormatan dan ketaatan terhadap hak asasi manusia hanyalah bersifat anjuran, bukan kewajiban hukum terhadap para anggota. Lebih lanjut mereka mengemukakan bahwa kewajiban untuk memajukan hak asasi manusia tidak harus menyiratkan kewajiban untuk melindungi hak asasi manusia. Sebaliknya ahli hukum yang lain, mengajukan argumentasi bahwa Pasal 56 memberikan kewajiban yang jelas kepada semua anggota untuk mengambil tindakan positif menuju pada penghormatan dan ketaatan terhadap hak asasi manusia. Dengan demikian, tidak dapat dikatakan bahwa sebuah negara yang menyangkal hak asasi manusia sedang menjalankan kewajibannya untuk menghormati hak asasi manusia. Akhir dari perdebatan ini adalah disetujuinya secara umum bahwa ketentuan hak asasi manusia dalam Piagam menciptakan kewajiban untuk melindungi hak asasi manusia yang secara hukum mengikat anggotanya.
Kegiatan PBB dalam Bidang HAM dikelompokan menjadi :
·         Bidang Hukum,yaitu fakta-fakta internasional,deklarasi,dan instrumen hukum lainnya
·         Bidan Politik,yaitu melalui badan-badan seperti Komnsa HAM PBB
Ada 6 fakta HAM yang Utama :
·         Konvenan Internasiona tentang Hak-hak sipil dan politik (ICCPR)
·         Konvenan Internasiona tentang Hak-hak ekonomi,sosial,dan budaya (ICESCR)
·         Konvensi mengenai penghapusan Diskriminasi RAS (CERD)
·         Konvensi mengenai Penghapusan Diskriminasi terhadap Wanita (CEDAW)
·         Konvensi mengenai Hak-hak Anak (CROC)

v  The International Bill of Human Rights
International Bill of Human Rights” adalah istilah yang digunakan untuk menunjuk pada tiga instrumen pokok hak asasi manusia internasional beserta optional protocolnya yang dirancang oleh PBB. Ketiga instrumen itu adalah:
·         Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights)
·         Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights) dan
·         Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya(International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights).
 Sedangkan optional protocol yang masuk dalam kategori ini adalah, “the Optional Protocol to the Covenant on Civil and Political Rights” (Protokol Pilihan Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik). Disebut sebagai instrumen pokok karena kedudukannya yang sentral dalam corpus hukum hak asasi manusia internasional. Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia disahkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa pada tahun 1948. Deklarasi ini boleh dikatakan merupakan interpretasi resmi terhadap Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa, yang memuat lebih rinci sejumlah hak yang didaftar sebagai Hak Asasi Manusia. Deklarasi ini berfungsi sebagai “standar pencapaian bersama”. Karena itu ia dirumuskan dalam bentuk deklarasi, bukan perjanjian yang akan ditandatangani dan diratifikasi. Meskipun demikian, deklarasi itu telah terbukti menjadi langkah raksasa dalam proses internasionalisasi hak asasi manusia. Seiring dengan perjalanan waktu, status legal deklarasi itu terus mendapat pengakuan yang kuat. Selain dipandang sebagai interpretasi otentik terhadap muatan Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa, deklarasi ini juga berkembang menjadi hukum kebiasaan internasional yang mengikat secara hukum bagi semua negara.Dengan demikian pelanggaran terhadap deklarasi ini merupakan pelanggaran terhadap hukum internasional. Dua kovenan yang menyusul, yakni Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik dan Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, disahkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa pada tahun 1966. Tetapi kedua Kovenan itu baru berlaku mengikat secara hukum pada tahun 1976. Dua instrumen pokok hak asasi manusia internasional itu menunjukkan dua bidang yang luas dari hak asasi manusia, yakni hak sipil dan politik di satu pihak, dan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya di pihak lain. Kedua instrumen ini disusun berdasarkan hak-hak yang tercantum di dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, tetapi dengan penjabaran yang lebih spesifik. Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, misalnya, menjabarkan secara lebih spesifik hak-hak mana yang bersifat “non-derogable” dan hak-hak mana yang bersifat “permissible”. Begitu pula dengan Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, yang memuat secara lengkap hak-hak ekonomi dan sosial, merumuskan tanggung jawab negara yang berbeda dibandingkan dengan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik. Jadi sebetulnya dua Kovenan ini dibuat untuk menjawab masalah-masalah praktis berkaitan dengan perlindungan hak asasi manusia.

7.   .           Hak Asasi Manusia di Indonesia
HAM di Indonesia bersumber dari  Pancasiala.Berbagai instrument hak asasi manusia yang dimiliki Negara Republik Indonesia yakni :
·         Undang-Undang Dasar 1945
·         Ketetapan MPR No,XVII /MPR/1998 tentang Hak asasi Manusia
·         Undang-Undang No.39 tahun 1999 tentang Hak Asasi manusia
Di Indonesia secara garis besar disimpulkan, hak hak asasi manusia dapat dibeda-bedakan menjadi sebagai berikut :
·      Hak-hak asasi pribadi (personal rights) yang meliputi kebebasan menyatakan pendapat,kebebasan memeluk agama,dan kebebasan bergerak.
·         Hak-hak asasi ekonomi (Property Rights) yang meliputi hak untuk memiliki sesuatu,hak untuk membeli,dan menjual serta memanfaatkannya,
·         Hak-hak asasi Politik (Political rights) yaitu hak untuk ikut serta dalam pemerintahan,hak dipilih dan hak untuk mendirikan partai politik
·         Hak asasi untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan (Rights Of legal Equality )
·         Hak –hak asasi sosial dan kebudayaan(Social and culture rights).Misalnya hak untuk memilih pendidikan dan haj untuk mengembangkan kebudayaan
·         Hak asasi untuk mendapatkan perlakuan tata cara peradilan dan perlindungan (Procedural Rights).
Misalnya peraturan dalam hal penahanan,penjangkapan,penggeledahan dan peradilan.
Dalam UUD 1945 dan peraturan pelaksanaannya :
·           Latar belakang perumusan HAM di dalam UUD 1945 ( pendebatan antara Soekarno,Soepomo dengan Moch.Hatta ).
·           Pencantuman HAM dalam UUD 1945 relatif singkat ( hasil kompromi )
·           Pengaturan HAM di dalam UUD 1945 setelah perubahan ke 2 tahun 2000; Pasal 27,28 ( Bab x tentang Warga Negara ) , pasal 28 A -28j ( Bab X A tentang HAM) ,pasal 29,30,31,dan 34.
Berbeda dengan di Inggris dan Perancis yang mengawali sejarah perkembangan dan perjuangan hak asasi manusianya dengan menampilkan sosok pertentangan kepentingan antara kaum bangsawan dan rajanya yang lebih banyak mewakili kepentingan lapisan atas atau golongan tertentu saja. Perjuangan hak-hak asasi manusia Indonesia mencerminkan bentuk pertentangan kepentingan yang lebih besar, dapat dikatakan terjadi sejak masuk dan bercokolnya bangsa asing di Indonesia dalam jangka waktu yang lama. Sehingga timbul berbagai perlawanan dari rakyat untuk mengusir penjajah.
Dengan demikian sifat perjuangan dalam mewujudkan tegaknya HAM di Indonesia itu tidak bisa dilihat sebagai pertentangan yang hanya mewakili kepentingan suatu golongan tertentu saja, melainkan menyangkut kepentingan bangsa Indonesia secara utuh. Hal ini tidak berarti bahwa sebelum bangsa Indonesia mengalami masa penjajahan bangsa asing, tidak pernah mengalami gejolak berupa timbulnya penindasan manusia atas manusia. Pertentangan kepentingan manusia dengan segala atributnya (sebagai raja, penguasa, bangsawan, pembesar dan seterusnya) akan selalu ada dan timbul tenggelam sejalan dengan perkembangan peradaban manusia. Hanya saja di bumi Nusantara warna pertentangan-pertentangan yang ada tidak begitu menonjol dalam panggung sejarah, bahkan sebaliknya dalam catatan sejarah yang ada berupa kejayaan bangsa Indonesia ketika berhasil dipersatukan di bawah panji-panji kebesaran Sriwijaya pada abad VII hingga pertengahan abad IX, dan kerajaan Majapahit sekitar abad XII hingga permulaan abad XVI. Hingga kemudian diskursus tentang HAM memasuki babakan baru, pada saat Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang bertugas menyiapkan rancangan UUD pada tahun 1945, dalam pembahasan-pembahasan tentang sebuah konstitusi bagi negara yang akan segera merdeka, silang selisih tentang perumusan HAM sesungguhnya telah muncul. Di sana terjadi perbedaan antara Soekarno dan Soepomo di satu pihak dan Mohammad Hatta dan Mohammad Yamin di pihak lain. Pihak yang pertama menolak dimasukkannya HAM terutama yang individual ke dalam UUD karena menurut mereka Indonesia harus dibangun sebagai negara kekeluargaan. Sedangkan pihak kedua menghendaki agar UUD itu memuat masalah-masalah HAM secara eksplisit.
Sehari setelah proklamasi kemerdekaan, tanggal 18 Agustus 1945, Panitya Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengadakan sidang untuk mengesahkan UUD 1945 sebagai UUD negara Republik Indonesia. Dengan demikian terwujudlah perangkat hukum yang di dalamnya memuat hak-hak dasar/asasi manusia Indonesia serta kewajiban-kewajiban yang bersifat dasar/asasi pula. Seperti yang tertuang dalam Pembukaan, pernyataan mengenai hak-hak asasi manusia tidak mendahulukan hak-hak asasi individu, melainkan pengakuan atas hak yang bersifat umum, yaitu hak bangsa. Hal ini seirama dengan latar belakang perjuangan hak-hak asasi manusia Indonesia, yang bersifat kebangsaan dan bukan bersifat individu.Sedangkan istilah atau perkataan hak asasi manusia itu sendiri sebenarnya tidak dijumpai dalam UUD 1945 baik dalam pembukaan, batang tubuh, maupun penjelasannya. Istilah yang dapat ditemukan adalah pencantuman dengan tegas perkataan hak dan kewajiban warga negara, dan hak-hak Dewan Perwakilan Rakyat. Baru setelah UUD 1945 mengalami perubahan atau amandemen kedua, istilah hak asasi manusia dicantumkan secara tegas.
Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia pernah mengalami perubahan konstitusi dari UUD 1945 menjadi konstitusi RIS (1949), yang di dalamnya memuat ketentuan hak-hak asasi manusia yang tercantum dalam Pasal 7 sampai dengan 33. Sedangkan setelah konstitusi RIS berubah menjadi UUDS (1950), ketentuan mengenai hak-hak asasi manusia dimuat dalam Pasal 7 sampai dengan 34. Kedua konstitusi yang disebut terakhir dirancang oleh Soepomo yang muatan hak asasinya banyak mencontoh Piagam Hak Asasi yang dihasilkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, yaitu The Universal Declaration of human Rights tahun 1948 yang berisikan 30 Pasal.
Dengan Dekrit Presiden RI tanggal 5 juli 1959, maka UUD 1945 dinyatakan berlaku lagi dan UUDS 1950 dinyatakan tidak berlaku. Hal ini berarti ketentuan-ketentuan yang mengatur hak-hak asasi manusia Indonesia yang berlaku adalah sebagaimana yang tercantum dalam UUD 1945. Pemahaman atas hak-hak asasi manusia antara tahun 1959 hingga tahun 1965 menjadi amat terbatas karena pelaksanaan UUD 1945 dikaitkan dengan paham NASAKOM yang membuang paham yang berbau Barat. Dalam masa Orde Lama ini banyak terjadi penyimpangan-penyimpangan terhadap Pancasila dan UUD 1945 yang suasananya diliputi penuh pertentangan antara golongan politik dan puncaknya terjadi pemberontakan   G-30-S/PKI tahun 1965. Hal ini mendorong lahirnya Orde Baru tahun 1966 sebagai koreksi terhadap Orde Lama. Dalam awal masa Orde baru pernah diusahakan untuk menelaah kembali masalah HAM, yang melahirkan sebuah rancangan Ketetapan MPRS, yaitu berupa rancangan Pimpinan MPRS RI No. A3/I/Ad Hoc B/MPRS/1966, yang terdiri dari Mukadimah dan 31 Pasal tentang HAM. Namun rancangan ini tidak berhasil disepakati menjadi suatu ketetapan.
Kemudian di dalam pidato kenegaraan Presiden RI pada pertengahan bulan Agustus 1990, dinyatakan bahwa rujukan Indonesia mengenai HAM adalah sila kedua Pancasila “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab” dalam kesatuan dengan sila-sila Pancasila lainnya. Secara historis pernyataan Presiden mengenai HAM tersebut amat penting, karena sejak saat itu secara ideologis, politis dan konseptual HAM dipahami sebagai suatu implementasi dari sila-sila Pancasila yang merupakan dasar negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia. Meskipun demikian, secara Ideologis, politis dan konseptual, sila kedua tersebut agak diabaikan sebagai sila yang mengatur HAM, karena konsep HAM dianggap berasal dari paham individualisme dan liberalisme yang secara ideologis tidak diterima.Perkembangan selanjutnya adalah dengan dibentuknya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 50 Tahun 1993 tanggal 7 Juni 1993. Pembentukan KOMNAS HAM tersebut pada saat bangsa Indonesia sedang giat melaksanakan pembangunan, menunjukkan keterkaitan yang erat antara penegakkan HAM di satu pihak dan penegakkan hukum di pihak lainnya. Hal ini senada dengan deklarasi PBB tahun 1986, yang menyatakan HAM merupakan tujuan sekaligus sarana pembangunan. Keikutsertaan rakyat dalam pembangunan bukan sekedar aspirasi, melainkan kunci keseluruhan hak asasi atas pembangunan itu sendiri. Dan menjadi tugas badan-badan pembangunan internasional dan nasional untuk menempatkan HAM sebagai fokus pembangunan Guna lebih memantapkan perhatian atas perkembangan HAM di Indonesia, oleh berbagai kalangan masyarakat (organisasi maupun lembaga), telah diusulkan agar dapat diterbitkannya suatu Ketetapan MPR yang memuat piagam hak-hak asasi Manusia atau Ketetapan MPR tentang GBHN yang didalamnya memuat operasionalisasi daripada hak-hak dan kewajiban-kewajiban asasi manusia Indonesia yang ada dalam UUD 1945. Akhirnya ketetapan MPR RI yang diharapkan memuat secara adanya HAM itu dapat diwujudkan dalam masa Orde Reformasi, yaitu selama Sidang Istimewa MPR yangberlangsung dari tanggal 10 sampai dengan 13 November 1988. Dalam rapat paripurna ke-4 tanggal 13 November 1988, telah diputuskan lahirnya Ketetapan MPR RI No. XVII/MPR/1988 tentang Hak Asasi Manusia. Kemudian Ketetapan MPR tersebut menjadi salah satu acuan dasar bagi lahirnya UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang disahkan pada tanggal 23 september 1999. Undang-Undang ini kemudian diikuti  lahirnya Perpu No. 1 Tahun 1999 yang kemudian  disempurnakan dan ditetapkan menjadi UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
 Sebagai bagian dari HAM, sebelumnya telah pula lahir UU No. 9 Tahun 1998  tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum yang disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 26 oktober 1998, serta dimuat dalam LNRI Tahun 1999 No. 165.
Di samping itu, Indonesia telah merativikasi pula beberapa konvensi internasional yang mengatur HAM, antara lain :
·         Deklarasi tentang Perlindungan dan Penyiksaan, melalui UU No. 5 Tahun 1998.
·         Konvensi mengenai  Hak Politik Wanita 1979, melalui UU No. 68 Tahun 1958.
·         Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap wanita, melalui UU No. 7 Tahun 1984.
·         Konvensi Perlindungan Hak-Hak Anak, melalui Keppres No. 36 Tahun 1990.
·         Konvensi tentang Ketenagakerjaan, melalui UU No. 25 Tahun 1997, yang pelaksanaannya ditangguhkan sementara.
·         Konvensi tentang Penghapusan Bentuk Diskriminasi Ras Tahun 1999, melalui UU No. 29 Tahun 1999.